Taubat Dari Riya’, Benarkah Pahala Amal Yang Terlanjur Terhapus Dapat Kembali?
![]()
Pembaca rahimakumullah, marilah kita renungkan nasihat berharga dari Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah yang beliau sampaikan dalam salah satu karyanya; kitab dengan judul Al-Wabil As-Shoyyib:
ومحبطات الأعمال ومفسداتها أكثر من أن تحصر، وليس الشأن في العمل، إنما الشأن في حفظ العمل مما يفسده ويحبطه، فالرياء وإن دق محبط للعمل، وهو أبواب كثيرة لا تحصر
“Penyebab gugurnya amal dan perusaknya itu lebih banyak daripada yang bisa dibatasi. Dan yang terpenting dalam beramal bukanlah pada amal itu sendiri, tetapi bagaimana menjaga amal dari hal-hal yang dapat merusak dan menggugurkan pahalanya. Sebab, Riya’ sekalipun ia sangat halus, ia dapat menggugurkan amal. Dan pintu-pintu Riya’ amat banyak tidak terhitung.”
Nasihat ini menegaskan bahwa tantangan terbesar seorang Muslim setelah beramal saleh adalah menjaga pahala amal tersebut dari segala perusaknya. Di antara perusak pahala amal yang sangat berbahaya adalah Riya’, yang dapat membuat ibadah kita sia-sia di hadapan Allah Ta’ala.
Namun, bagaimana jika seseorang pernah terjerumus dalam Riya’ sehingga pahala amalnya terhapus (habathul amal), kemudian ia bertaubat dengan taubat nasuha? Apakah pahala amal yang telah gugur tersebut dapat dikembalikan oleh Allah Ta’ala?
Berikut kami uraikan jawabannya….
Riya’ Dan Dampaknya Pada Sah/Gugurnya Amal
Para ulama membedakan kondisi amal yang tercampuri oleh Riya’ menjadi dua:
- Riya’ yang Mencampuri Amalan Sejak Awal
Jika Riya’ terjadi pada niat dasar atau asal-muasal amal, di mana niat utama melakukan ibadah memang untuk dilihat dan dipuji manusia, maka amal tersebut sejak awal tidak sah dan tidak diterima. Dalilnya, hadits Qudsi berikut, “Dari Nabi -shallallahu’alaihi wasallam- bahwa Allah tabaaraka wa ta’ala berfirman,
أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملًا أشرك معي فيه غيري تركته وشركه.
“Aku paling tidak membutuhkan sekutu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Ku). Barangsiapa yang melakukan suatu amal, dengan menyekutukan Aku di dalamnya dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan perbuatan syirik-nya.” (HR. Muslim)
Contohnya seseorang shalat hanya karena ada tamu datang, jika tamu itu tidak ada, dia tidak akan shalat. Maka taubat dari dosa Riya’ seperti ini akan diterima, tetapi amal shalatnya itu sendiri tidak akan dikembalikan menjadi berpahala karena syarat keabsahan amalnya (ikhlas) telah hilang sejak awal.
- Riya’ yang Datang Kemudian di Tengah Amal
Kondisi ini terjadi ketika niat awal melakukan amal adalah murni karena Allah, namun di tengah-tengah pelaksanaan, timbul Riya’ (niat pamer) yang datang tiba-tiba (thari’ah). Para ulama merinci dampak Riya’ yang datang kemudian ini menjadi beberapa tingkatan:
- Hanya Terlintas dan Langsung Ditolak
Riya’ hanya sekadar terlintas dalam hati (sebagai bisikan) dan segera dilawan atau diusir. Riya’ yang seperti ini tidak membahayakan amalan. Ada kesepakatan ulama bahwa amal tetap sah.
- Diterima dan Dilayani
Riya’ yang muncul kemudian diikuti (dilayani) oleh pelaku amal. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah amal menjadi batal atau tetap sah. Imam Ahmad dan Ibnu Jarir At-Thobari berpandangan bahwa amal tidak batal, dia mendapatkan pahala sesuai niat awalnya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri dan ulama lainnya.
- Pembagian Jenis Amalan Berdasarkan Keterkaitan dengan Rusaknya Pahala oleh Riya’ Di Tengah Amal
Ibnu Jarir Ath-Thabari -rahimahullah- membedakan dua jenis amal terkait Riya’ yang datang tiba-tiba:
- Amal yang Terkait (Akhir Berkaitan dengan Awal atau sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan)
Contohnya shalat, puasa, haji. Amalan-amalan ini memiliki rangkaian yang saling terkait dari awal hingga akhir. Maka jika dimasuki Riya’ di tengah-tengah amal, tentang status pahalanya para ulama berbeda pendapat di atas (poin B) berlaku untuk jenis ini.
- Amal yang Tidak Terkait (Tidak Ada Keterkaitan Awal dan Akhir)
Seperti membaca Al-Qur’an, zikir, bersedekah, menyebarkan ilmu, setiap bagian atau pemberian adalah amalan mandiri yang tidak bergantung pada yang berikutnya. Maka niat Riya’ yang datang pada pertengahan amal tidak menggugurkan keabsahan seluruh amal tersebut. Ia hanya menghapus satuan amal dalam jenis itu yang dicampuri Riya’. Sedekah pagi seorang ikhlas, namun sedekah sore ia riya’, maka riya’ hanya membatalkan pahala amal sedekah sore saja, sedekah pagi yang dilakukan dengan ikhlas tetap terjaga pahalanya. Untuk melanjutkan amal dengan sah, niat harus diperbarui (diniatkan kembali secara murni karena Allah).
(Sumber: penjelasan Ibnu Rajab Al-Hambali yang dikutip oleh situs islamweb.net)
Kekuatan Taubat Nasuha dalam Kembalinya Pahala
Mengenai kondisi kedua, yaitu amal yang telah sah namun pahalanya gugur karena dosa (termasuk Riya’), pendapat yang kuat di kalangan ulama adalah bahwa taubat nasuha dapat mengembalikan pahala tersebut. Pahala yang hilang itu akan kembali kepada hamba yang bertaubat berdasarkan dalil berikut:
- Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan oleh Al-Albani)
Jika taubat telah menghapuskan dosa Riya’ yang menjadi penyebab gugurnya pahala, maka konsekuensi dari dosa tersebut (yaitu hilangnya pahala) juga ikut lenyap saat seorang bertaubat. Allah Ta’ala dengan kemurahan-Nya akan mengembalikan pahala amal tersebut seolah-olah dosa itu tidak pernah terjadi.
- Analogi dengan Masuk Islam
Para ulama juga mengambil analogi dari keutamaan masuk Islam:
Seorang kafir yang masuk Islam, maka keislamannya menghapuskan seluruh dosa kekafiran dan kemaksiatan sebelumnya. Bahkan, Allah mengembalikan pahala kebaikan yang ia lakukan di masa jahiliah (seperti sedekah atau menyambung silaturahim), sebagaimana riwayat Hakim bin Hizam yang bertanya kepada Nabi ﷺ tentang amal baiknya saat dilakukan di masa Jahiliyyah:
أسلمت على ما أسلفت من خير
“Anda telah masuk Islam dengan membawa kebaikan yang telah anda lakukan sebelumnya (saat masa Jahiliyyah).” (HR. Muslim)
Jika masuk Islam dapat mengembalikan pahala kebaikan yang dilakukan di masa kekafiran, maka taubat nasuha dari seorang Muslim tentu lebih layak untuk mengembalikan pahala amalnya yang terhapus karena Riya’ atau dosa lain yang derajatnya lebih ringan dari dosa kekafiran.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- menegaskan bahwa taubat yang jujur akan membakar seluruh keburukan sebelumnya dan mengembalikan pahala kebaikan-kebaikan yang telah hilang (Lihat: Al-Wabil As-Shoyyib dan Madarijus Salikin).
Kesimpulannya, bagi seorang yang bertaubat dengan taubat nasuha dari Riya’ atau dosa lain yang menyebabkan gugurnya pahala amal yang sah, maka dosanya diampuni dan pahala amalnya akan dikembalikan berkat rahmat dan karunia Allah Ta’ala.
Namun, kabar gembira ini tidak boleh dijadikan alasan untuk meremehkan dosa Riya’ atau bermudah-mudah dalam bermaksiat.
Penting Untuk Diingat
- Ikhlas adalah Syarat Mutlak
Selalu jaga keikhlasan dalam setiap amal karena ia adalah kunci utama diterima atau ditolaknya ibadah.
- Bersegera Taubat
Jika terjerumus dalam Riya’, segera bertaubat, menyesali perbuatan, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya.
- Hanya Taubat Tulus yang Bermanfaat
Hanya taubat yang tulus dan jujur (nasuha) yang memiliki kekuatan untuk menghapus dosa dan mengembalikan pahala amal. Yaitu taubat yang berangkat dari penyesalan dan tekad untuk tidak mengulangi dosa
Semoga Allah senantiasa membimbing hati kita menuju keikhlasan yang murni. Aamiin.
Wallahu a’lam bish shawab.
Ditulis Oleh: Ahmad Anshori, Lc., M.Pd.


