SEPULUH KAIDAH PENTING TENTANG ISTIQOMAH
Kaidah Kesembilan: Pencegah untuk istiqomah adalah syubhat yang menyesatkan dan syahwat yang melalaikan
Segala macam bentuk syubhat (kerancuan -pent) dan syahwat (hawa nafsu -pent) maka keduanya adalah pencegah serta pemutus yang dapat menghadang seseorang untuk selalu bisa istiqomah. Seorang yang sedang berjalan menempuh jalan yang lurus, yang mana di dalam perjalanannya tersebut (tanpa sadar) dia terus menerus (terjatuh) di dalam fitnah syubhat dan syahwat yang memalingkannya dari jalan yang lurus (maka dirinya akan terpalingkan) jauh dari jalan yang lurus .
Maka setiap orang yang telah melenceng dari istiqomah (dan dari jalan yang lurus), itu semua tidak bisa terlepas dari dua perkara ini, baik itu di sebabkan oleh fitnah syahwat maupun fitnah syubhat. Dengan syahwat dia akan merusak amalan yang telah di kerjakan, sedangkan dengan sebab fitnah syubhat maka dia akan merusak ilmunya.
Allah Ta’ala berfirman:
قال الله تعالى: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ [الأنعام: 153]
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya“. [al-An’am/6: 153].
Telah tetap di dalam sebuah hadits dari Abdillah bin Mas’ud semoga Allah meridhoinya yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Mas’ud mengatakan:
: خَطَّ لَنَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم خَطًّا ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ الله، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ، ثُمَّ قَرَأَ: وَإِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ ، فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggaris (di hadapan) kami sebuah garis yang lurus, kemudian Rasulullah mengatakan: “Ini adalah jalannya Allah”, lalu beliau menggaris garis-garis (yang lain) di samping kiri dan kanannya. Kemudian mengatakan: “Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak kepadanya”, beliau lalu membaca firman Allah Ta’ala:
قال الله تعالى: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ [الأنعام: 153]
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya“. [al-An’am/6: 153]. HR Ahmad no: 4142.
Oleh karena itu setan yang mengajak manusia untuk berpaling dari jalan Allah Ta’ala yang lurus, maka ajakannya tersebut tidak lepas dari syubhat (kerancuan dan kesamaran) yang telah di tebarkan oleh setan serta syahwat yang melalaikan.
Maka jika setan melihat ada seseorang yang sedang dalam keadaan lalai (melampaui batas) maka setan jadikan dirinya cinta dengan hawa nafsu yang ada, namun jika setan mengetahui bahwa dirinya dalam kondisi yang fit, semangat serta selalu menjaga keistiqomahannya maka dirinya dijerumuskan kedalam keraguan serta kesamaran di dalam beragamanya. Sebagaimana yang di katakan oleh sebagian ulama Salaf: “Tidaklah Allah memerintahkan kepada hambaNya sebuah perintah kecuali ada dua cara bagi setan untuk menggoda bani adam, adakalanya (supaya) mereka melalaikan serta meremehkan (pada perintah tersebut), dan adakalanya diantarkan mereka sampai (batas) yang tidak wajar sehingga mereka ghuluw (berlebih-lebihan.pent). maka dengan dua hal inilah setan menghasut anak cucu Adam dan setan tidak peduli dengan mana dari keduanya ia tancapkan kuku-kukunya kepada anak cucu Adam”.
Imam Ibnu Qoyyim mengatakan: “Sungguh kebanyakan manusia, mereka tidak sanggup untuk bisa melewati dua lembah ini (dua perkara ini.pent) kecuali sedikit sekali diantara mereka yang bisa selamat. Lembah yang pertama yaitu lembah (bersikap) meremehkan dan yang kedua yaitu lembah (bersikap) berlebih-lebihan serta melampaui batas. Dan sangat sedikit sekali di antara mereka yang bisa tetap teguh di atas jalan yang lurus (yaitu jalan) sebagaimana yang telah di tempuh oleh Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya”[1] .
Di sini saya akan nukilkan sebuah contoh yang sangat agung serta besar faidahnya, bahkan contoh ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat berfaidah bagi kita semua. Sebagaimana telah shahih di dalam Musnad Imam Ahmad dan dalam Sunan Imam Tirmidzi dan selain keduanya yang di riwayatkan dari Nawaas bin Sam’an semoga Allah meridhoinya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Allah Ta’ala telah memberi sebuah permisalan bagi jalanNya yang lurus, maka pada samping kiri dan kanannya ada dua tembok (yang) masing-masing memiliki pintu yang terbuka (hanya) tertutupi oleh penutup (tabir -pent), maka di depan pintu shiroth (jalannya Allah yang lurus) ada penyerunya sambil mengatakan: “Wahai sekalian manusia masuklah kalian semua kejalannya Allah yang lurus jangan berbelok-belok”. Dan ada pula yang menyeru di atas shiroth yang mana kala (manusia) akan mencoba untuk membuka (dua pintu) yang ada di kanan dan kirinya (shiroth) maka di seru kepadanya: “Celakalah kamu, jangan coba (untuk) sekali-kali membukanya! Sesungguhnya jika kamu membukanya maka kamu akan masuk kedalamnya”. Maka (perumpamaan) shiroth adalah Islam sedangkan suuroon (dua tembok pent) adalah batasan-batasannya Allah sedangkan pintu-pintu yang terbuka adalah larangan-larangannya Allah. (Adapun) penyeru yang berada di depan shirot adalah kitabullah sedangkan penyeru yang berada di atas shiroth adalah perasaan (yang akan mencegah) dalam hati setiap muslim“. HR Ahmad 17634, Trimidzi no: 2859, di shahihkan oleh al-Hakim 1/144 dan di setujui oleh adz-Dzahabi, dan di shahihkan pula oleh al-Albani dalam shahihul Jami no: 3887.
Perhatikanlah perumpamaan di atas niscaya Allah akan memberi manfaat kepadamu, Allah Ta’ala telah memberi sebuah permisalan akan jalanNya yang lurus, yang mana pada kiri kanannya terdapat suuraan (dua tembok.pent), yang kalau di gambarkan maka engkau sedang berjalan di sebuah jalan yang lurus sedangkan disisi kananmu ada tembok demikian pula di sisi kirimu pun ada tembok, dan pada tembok teersebut ada pintu-pintu yang sangat banyak yang engkau lewati di sisi kiri dan kananmu. Ada pun pintu-pintu ini hanya tertutupi tirai (yang mudah sekali untuk disingkap), sebagaimana kamu ketahui bahwa pintu kalau hanya tertutupi oleh tirai tidak seperti pintu yang memiliki daun pintu, pintu itu sangat mudah sekali bagi dirimu untuk memasukinya dan tidak ada yang menghalanginya sama sekali. Seorang muslim yang jujur dan istiqomah jika dirinya menginginkan untuk masuk pada pintu syahwat maka akan ia dapati bahwa hatinya akan menolak serta berontak, tidak merasa tenang dan tentram, maka inilah teguran dari Allah yang ada pada hati setiap muslim.
Dan yang menjadi penguat dalam hadits di atas adalah bahwasannya pada sisi kiri dan kanan jalan istiqomah tersebut ada pintu-pintu yang akan mengeluarkan seorang manusia dari jalan istiqomah, dan pintu-pintu tersebut semuanya kembali pada dua perkara, mungkin ke syubhat (kesamaran dan keraguan) dan yang kedua adalah ke hawa nafsu.
Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Allah Subhanahu wa ta’ala telah membentangkan jembatan yang akan di lewati oleh setiap orang menuju syurga, dan diciptakannya api yang menjulur-julur yang akan menyambar setiap orang sesuai dengan amalanya (ketika di dunia), demikian juga api kebatilan yang menjulur-julur dari syubhat serta kesesatan, adapun syahwat (hawa nafsu) yang melalaikan pelakunya akan mencegah orang yang melakukannya dari istiqomah dan dari jalan kebenaran serta (ketika) menempuh di jalan kebenaran, dan orang yang di jaga maka dialah yang telah di jaga (dan di selamatkan) oleh Allah Ta’ala”[2]
Dan seorang hamba pada keadaan seperti ini (masalah istiqomah) membutuhkan dua hidayah agar bisa selamat di dalam perjalanannya yaitu hidayah kepada jalan yang lurus serta hidayah ketika menempuh di jalan yang lurus tersebut.
Imam Ibnu Qoyyim menegaskan hal ini dengan mengatakan, “Maka (meminta) hidayah menuju shirothol mustaqim (jalan yang lurus) adalah perkara yang lain sedangkan hidayah di dalam menempuh jalan yang lurus tersebut adalah sesuatu yang lain, tidaklah kamu ketahui bahwa seseorang yang telah mengetahui bahwa ada jalan fulan pada sebuah kota adalah jalan yang sifatnya begini dan begitu, akan tetapi tidak mungkin bisa (melewati dengan) benar pada jalan tersebut, karena (ketika ingin) berjalan melewatinya membutuhkan petunjuk khusus pada jalan tersebut, seperti (harus) berjalan pada waktu tertentu (yang) tidak bisa di lewati pada waktu tertentu, membawa air sesuai dengan ukuran perjalanan yang akan di tempuh, berhenti pada tempat tertentu, (ini hanyalah permisalan) tentang petunjuk (yang dibutuhkan) pada sebuah perjalanan yang terkadang dilupakan oleh orang bahkan oleh orang yang paham akan jalan tersebut sehingga dia binasa tidak sampai pada tujuan”[3]
[Disalin dari عَشْرُ قَوَاعِدَ فِي الاسْتِقَــامَةِ (edisi Indonesia : Sepuluh Kaidah Penting Tentang Istiqomah). Penulis Prof. DR. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr Penerjemah Abu Umamah Arif Hidayatullah, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com]
_______
Footnote
[1] Ighatsatul lahfaan 1/136
[2] Shawa’iqul mursalah 4/1256
[3] Risalah Ibnu Qoyim ilaa ahadi ikhwanihi hal: 9
Leave a Reply