Berjuang Menundukkan Hawa Nafsu

Berjuang Menundukkan Hawa Nafsu

Salah satu hal yang sangat berat dalam kehidupan seorang muslim adalah berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, serta mendorong jiwanya senantiasa taat kepada Allah Ta’ala. Seorang muslim harus senantiasa memaksa jiwanya untuk teguh di atas kebenaran. Dia pun senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar mampu istikamah dalam menundukkan hawa nafsunya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika haji Wada’,

أَلا أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ

“Tahukah kalian, siapakah orang yang beriman itu? Orang yang beriman adalah orang yang memberi rasa aman bagi jiwa dan harta orang lain. Seorang muslim adalah orang yang ucapan dan tindakannya tidak menyakiti (mengganggu) orang lain. Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Terdapat dua jenis manusia ketika berinteraksi bersama hawa nafsu:

Pertama, ia berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsu, dia menundukkannya agar segera melakukan kebaikan dan ketaatan.

Kedua, ia membiarkan (mengumbar) hawa nafsunya, sehingga membiarkan dirinya terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa.

Allah Ta’ala telah menyebutkan dua jenis manusia ini dalam firman-Nya,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)

“Menyucikan jiwa” adalah dengan berupaya sungguh-sungguh membersihkan dan memurnikan jiwa tersebut dari kekufuran, kemaksiatan, dan dosa. Dia senantiasa memperbaiki dirinya dengan melakukan ketaatan dan aktivitas kebaikan. Sebaliknya, “mengotori jiwa” adalah dengan tidak melakukan aktivitas kebaikan dan melakukan kemaksiatan. Dia pun menuruti bisikan dan dorongan jiwa untuk melakukan sesuatu yang mengundang kemurkaan dan siksa Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala telah membentuk dua potensi jiwa pada diri manusia, yaitu nafsun ammaratun bis-suu (jiwa yang selalu memerintahkan untuk melakukan keburukan) dan nafsun muthmainnah (jiwa yang damai dan tenang). Keduanya saling berkebalikan dan bertolak belakang. Hal yang paling berat bagi seseorang yang memiliki nafsun ammaratun bis-suu adalah melakukan ibadah, ketaatan, dan berbagai aktivitas yang diridai oleh Allah Ta’ala. Sedangkan sebaliknya, perkara terberat bagi seseorang yang memiliki nafsun muthmainnah adalah melakukan maksiat dan dosa.

Baca juga: Tundukan Hawa Nafsu Demi Ikut Dalil

Kedua jenis jiwa (nafsu) ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala ketika menceritakan perihal istri al-Aziz, pembesar Mesir,

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Yusuf: 53)

Makna ayat di atas adalah hawa nafsu itu senantiasa memerintahkan pemiliknya untuk mengerjakan segala keburukan. Inilah karakter dan tabiat dasar dari hawa nafsu, kecuali orang-orang yang diberi taufik dan pertolongan Allah Ta’ala sehingga ia mampu berlari menyelamatkan diri dari dorongan nafsu tersebut. Itulah mengapa lanjutan ayat tersebut adalah, “kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku.” Artinya, seseorang bisa selamat dari keburukan nafsunya itu semata-mata berkat rahmat dan karunia dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam firman-Nya,

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nur: 21)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah memberikan edukasi kepada para sahabat dalam khutbah hajat yang disampaikan beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing mereka agar mengucapkan doa,

الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

“Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, memohon pengampunan-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari keburukan jiwa kami dan dari kejelekan perbuatan kami.” (HR. Abu Dawud no. 2118, Tirmidzi no. 1105, An-Nasa’i no. 1404, dan Ibnu Majah no. 1892, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan terlebih dahulu keburukan jiwa, sebelum menyebutkan kejelekan perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa kejelekan perbuatan (tindakan) itu berasal dari keburukan jiwa. Apabila jiwanya buruk, ia akan mengajak pemiliknya untuk melakukan perkataan dan perbuatan yang jelek. Ia tidak akan selamat, kecuali apabila Allah Ta’ala menyelamatkan dirinya dari belenggu hawa nafsu tersebut.

Apabila setiap muslim menyadari karakter nafsun ammaratun bis-suu yang selalu mengajak untuk melakukan kemaksiatan dan menjauhkan dari ketaatan, maka tentu ia akan berusaha konsisten untuk bersungguh-sungguh mengobati dan menyembuhkannya. Sampai nafsu tersebut berada dalam kendali kita, bukan nafsu itu yang justru mengendalikan kita. Apabila nafsu telah mengendalikan dirinya, seseorang akan menuruti syahwat tanpa mempedulikan apakah Allah Ta’ala rida ataukah murka. Intinya, setiap muslim harus senantiasa berjuang melawan dan menundukkan hawa nafsunya seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ

“Orang yang berjihad (berjuang) adalah orang yang bersungguh-sungguh mendorong jiwanya menaati Allah.” (HR. Ahmad no. 23958 dan Ibnu Majah no. 3934, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)

Malik bin Dinar rahimahullah menuturkan,

رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا قَالَ لِنَفْسِهِ النَّفِيسَةِ: أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ أَلَسْتِ صَاحِبَةَ كَذَا؟ ثُمَّ ذَمَّهَا ثُمَّ خَطَمَهَا، ثُمَّ أَلْزَمَهَا كِتَابَ اللَّهِ؛ فَكَانَ لَهَا قَائِدًا

“Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berkata pada hawa nafsunya, “Bukankah engkau telah melakukan dosa ini dan dosa itu? Kemudian dia mencela dan mengekangnya. Lalu, dia pun memaksanya untuk tunduk pada aturan (kitab) Allah, sehingga dia pun mengendalikan nafsunya.” (Diriwayatkan oleh al-Kharaithi dalam I’lam al-Qulub no. 38)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan masyarakat Kufah. Beliau radhiyallahu ‘anhu menyampaikan,

يا أَيُّهَا النَّاسُ! إن أخوف ما أخاف عليكم طول الأمل واتباع الهوى، فأما طول الأمل فينسي الآخرة، وأما اتباع الهوى فيصد عن الحق ألا وإن الدنيا قد تولت مدبرة والآخرة قد أقبلت مقبلة ولكل واحدة منهما بنون فكونوا من أبناء الآخرة ولا تكونوا من أبناء الدنيا فان اليوم عمل ولا حساب والآخرة حساب ولا عمل

“Sungguh, perkara yang paling saya takutkan dari kalian adalah panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Panjang angan-angan adalah melupakan dari akhirat, sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah berpaling dari kebenaran. Ketahuilah, sungguh dunia telah beralih ke belakang dan akhirat telah beralih di depan. Dan setiap mereka memiliki anak. Jadilah anak-anak yang berorientasi pada akhirat, dan janganlah menjadi anak-anak yang berorientasi pada dunia. Sesungguhnya, hari ini adalah waktu beramal tanpa adanya hisab. Sedangkan hari kiamat besok adalah waktu dihisab tanpa bisa beramal lagi.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 10614)

Oleh karena itu, hendaknya setiap kita berjuang melawan dan mengevaluasi jiwa kita sebelum dihisab oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat. Kita mengevaluasi segala aktivitas dan tindakan yang telah dilakukan, sebelum kita berdiri di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat. Karena orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan diri dan melakukan aktivitas kebaikan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Adapun orang yang bodoh adalah ia yang mengikuti hawa nafsu dan berangan-angan bahwa Allah Ta’ala kelak akan mengampuni dirinya.

Baca juga: Kiat-Kiat Mengendalikan Hawa Nafsu

***

@Kantor Pogung, 15 Ramadan 1445/ 26 Maret 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 48; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *