Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 1)

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 1)

Bagian 1: Overdosis bicara

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah.

Kondisi hati

Sebuah hal yang familiar dan sering kita dapatkan dalam kajian-kajian tentang hati bahwasanya hati itu terbagi menjadi tiga berdasarkan kondisinya, yaitu:

Pertama: Hati yang sehat

Yaitu, hati yang dengannya amalan-amalan diikhlaskan hanya untuk Allah dan terlepas dari berbagai syahwat dan syubhat dunia beserta ranting dan cabang-cabangnya. Orang dengan hati inilah yang akan selamat di hari kiamat kelak.

Kedua: Hati yang mati

Kebalikan dari hati yang sehat. Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal Rabb-nya, dipenuhi oleh maksiat dan bekerja mengikuti syahwat serta hawa nafsu.

Ketiga: Hati yang sakit

Jenis hati yang ini berada di antara dua kondisi hati yang sehat dan hati yang mati, di mana di dalamnya terdapat ketaatan-ketaatan, akan tetapi telah terkontaminasi oleh syahwat. Sehingga hati ini terkadang mengarahkan pada kebaikan dan ketaatan dan kadang pula mendorong pada keburukan dan kemaksiatan.

Hal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakit

Ada banyak hal yang membuat hati menjadi sehat, mati, apalagi sakit. Di antara yang menyebabkan sebuah hati kondisinya menjadi sakit adalah keracunan. Ada 4 macam racun hati yang paling luas persebarannya dan paling besar pengaruh juga efek sampingnya pada kondisi hati. Empat racun tersebut berasal dari overdosis pada konsumsi hal-hal yang tidak begitu esensial, terlalu banyak dan melebihi kadar wajar yang seharusnya, sehingga berubah menjadi racun. Yaitu, overdosis/terlalu banyak bicara, overdosis melihat, overdosis makanan, serta overdosis bergaul.

Dalam kitab “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid, racun-racun hati yang empat tersebut dinarasikan dengan kata “فضول” (dibaca: fudhul), yang secara bahasa Arab terdapat beberapa arti, seperti “rasa ingin tahu yang berlebih” atau “keheranan akan sesuatu” atau “sesuatu yang tidak berfaedah” atau juga “suatu lebihan atau sisa yang terlampau dari seharusnya pada sesuatu”.

Kemudian dalam konteks ini, kata “فضول” dapat diartikan dengan “kelebihan atau terlalu banyak yang tidak ada gunanya”. Kemudian yang akan digunakan pada kesempatan kali ini adalah kata “overdosis” dalam rangka mempersingkat dan mempermudah tersampaikannya makna pada pembaca.

Overdosis bicara

Selanjutnya, mari kita bahas satu per satu dari racun-racun yang disebabkan oleh overdosis tersebut. Yang pertama adalah “overdosis bicara”.

Adalah suatu nikmat tiada tara, Allah yang telah menciptakan kita dan menjadikan manusia sebagai makhluk dengan rupa penciptaan yang paling bagus seperti yang difirmankan-Nya pada surah At-Tin ayat 4. Kemudian sebagai salah satu bentuk penyempurnaan pada surah Asy-Syams ayat 7 adalah sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Balad ayat 8-9,

أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ  وَلِسَانًۭا وَشَفَتَيْنِ 

Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata, lisan (lidah), dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9)

Lisan disebutkan secara eksplisit dalam firman-Nya sebagai salah satu nikmat, bentuk penyempurnaan, yang kita pahami sebagai fasilitas, tidaklah secara cuma-cuma, melainkan karena memang lisan memiliki peran sentral dalam berlangsungnya kehidupan manusia. Lisan memiliki peran baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, berguna sebagai alat komunikasi antar makhluk ataupun dengan Rabb, seperti dalam berdoa.

Kita tentu dapat saling memahami satu sama lain, di antaranya adalah melalui perkataan yang disampaikan oleh lisan yang berperan sebagai translator akan maksud dan keinginan hati dan pikiran kita. Bahkan, dengan perkataan, seorang muslim dan kafir dapat dibedakan, yaitu melalui syahadatain yang diucapkan sebagai bukti keislaman seseorang.

Mirisnya, masih banyak orang yang entah belum tahu, atau tidak tahu, atau sudah tahu, namun abai, ataupun bisa jadi tidak mau tahu sama sekali akan betapa besarnya efek-efek yang dihasilkan dari hanya sekadar ucapan yang kita ucapkan melalui lisan kita.

Tidak perlu melihat terlalu jauh. Kita cukup melihat ke diri sendiri, ke sekitar kita, juga ke gadget kita. Tentu banyak sekali ucapan-ucapan dan ujaran-ujaran yang tidak layak justru dinormalisasi. Jika kita kembali ke pengertian daripada “فضول” yang telah disampaikan di atas, maka “فضول الكلام” (dibaca: fudhul kalam) sebagai racun hati yang pertama dibahas ini dapat merujuk kepada di antara tiga hal berikut:

Pertama: Terlalu banyak bicara, melebihi kadar dan porsi yang wajar.

Kedua: Bicara yang tidak bermanfaat.

Ketiga: Gabungan antara keduanya, banyak bicara yang tidak bermanfaat.

Sehingga, apa-apa yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga kriteria di atas, maka sudah termasuk ke dalam racun hati ini dan harus kita hindari.

Baca juga: Jangan Asal Bicara Agama Tanpa Ilmu

Bentuk-bentuk overdosis bicara

Di antara bentuk-bentuk fudhul kalam atau overdosis bicara yang marak terjadi yaitu:

Pertama: banyak bicara. Ini dapat kita pahami dengan mudah. Setiap banyak bicara pada dasarnya adalah tidak baik. Bahkan, tidak jarang seseorang yang memiliki kepiawaian, setiap kali berbicara, justru melebihi porsi yang seharusnya. Sehingga mengaburkan maksud, mempersulit pendengar memahami, juga banyak membuang waktu.

Kedua: Bicara yang tidak perlu dan dilarang secara syariat. Seperti berbohong, gosip, adu domba, juga melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi dalam menyampaikan sesuatu, terutamanya ketika bercerita.

Ketiga: Toxic atau bicara kata-kata kasar. Termasuk pula yang tidak disebutkan secara jelas karena diplesetkan. Ketika kata tersebut masih mengandung makna dan penggunaan yang sama, maka dihukumi sama. Dalam hal ini, sudah menjadi virus terutama pada sebagian besar anak muda generasi sekarang yang seakan tidak dapat lepas dari berbagai kata-kata kasar, padahal jelas-jelas tidak boleh karena selain tidak elok, juga memiliki banyak dampak negatif.

Keempat: Termasuk pula menceritakan segala sesuatu yang dilihat ataupun didengarnya, karena sudah tidak sesuai porsi, tidak perlu, masuk kategori dusta pula, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

كفى بالمرء كذبًا أن يحدّث بكل ما سَمِع

Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim no. 5)

Antisipasi dari racun hati ini

Lantas, sebagai seorang muslim, apa yang selayaknya kita lakukan entah itu untuk menghindari dan antisipasi dari racun hati ini atau pula untuk mengobatinya?

Ada banyak sekali dalil beserta atsar dari para ulama yang dapat kita cermati. Dan di sini, telah dirangkum ke dalam beberapa cara yang dapat dilakukan. Di antaranya:

Sadar akan muraqabah Allah

Muraqabah artinya pengawasan. Tentu saja, pertama-tama, kita haruslah sadar akan pengawasan Allah yang meliputi segala sesuatu, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, kecil-besar, semua Allah ketahui dengan benar. Bahkan, Allah lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri. Tak terkecuali dalam segala yang kita ucapkan melalui lisan kita. Karena setiap yang kita ucapkan sebenarnya dicatat sebagai amal baik ataukah buruk oleh malaikat yang ditugaskan oleh Allah. Allah Ta’ala mengabarkan,

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌۭ

Tidak ada suatu kata yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18)

Mengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risiko

Adalah suatu keniscayaan bahwa segala sesuatu pastilah memiliki dampak, entah baik atau buruk. Begitu pula dengan segala perkataan, tentu ada dampak, risiko, atau efek samping. Ada dampak langsung dan juga tidak langsung, dampak terhadap diri kita atau dampak terhadap orang lain, pun dengan dampak terhadap masa yang akan mendatang secara umum. Sahabat Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ « ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“’Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya.) Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka, melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.)

Hadis di atas menjelaskan betapa perkataan dan ucapan memiliki dampak yang sangat serius, terutama perkataan-perkataan buruk yang menyebabkan siksa neraka di akhirat kelak.

Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ما النجاة؟

Apa itu keselamatan?

Rasulullah kemudian menjawab,

أمسك عليك لسانك

Jagalah olehmu lisanmu.”

Setiap manusia sejatinya sedang menanam. Jika yang ditanam baik, maka baik pula yang akan dipanen. Jika yang ditanam buruk, maka buruk pula yang akan dipanen.

Berlepas diri

Ketika kita sudah terlanjur melakukan berbagai hal yang tidak baik yang berkaitan dengan lisan dan ucapan, kemudian kita telah mengetahui dampak buruknya, hendaknya kita melepaskan diri dari hal itu. Jika tidak bisa langsung terlepas, maka tidak mengapa apabila dengan bertahap.

Adapun berlepas diri yang dimaksud adalah dengan bertobat. Dan tobat yang paling mudah adalah dengan istigfar. Hendaknya kita memperbanyak istigfar, terkhusus setiap kita khilaf. Qatadah pernah menuturkan,

فأما داؤكم فالذنوب وأما دواؤكم باللاستغفار

Penyakit kalian adalah dosa-dosa yang kalian kerjakan. Adapun obat kalian adalah dengan beristigfar (meminta ampunan).

Diam

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik saja atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut memberikan aturan sederhana dalam berucap dan bertutur kata, yaitu katakan yang baik-baik atau diam saja.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud juga pernah berujar,

يا لسان قل خيرا تغنم واسكت عن شر تسلم قبل أن تندم

Wahai lisan (lidah), katakanlah yang baik (saja), niscaya kau akan mendapatkan (kebaikan). Dan diamlah dari mengatakan yang buruk, maka kau akan selamat sebelum kau akan menyesal.”

Maka, betapa kita bisa melihat bahwa diam itu jauh lebih baik daripada kita harus membuat lelah diri kita dari berbicara berlebih, terutama ketika itu bukanlah hal yang baik. Hal ini sebagaimana aturan berupa tips sederhana dari Rasulullah, yaitu berbicara yang baik saja atau diam, tidak usah berbicara sekalian.

Sehingga dengan berbagai penjabaran juga dalil dan atsar-atsar di atas, kita dapat memahami dan menerapkannya ke dalam kehidupan kita tentang peran sentral ucapan yang keluar dari lisan kita. Secukupnya saja, yang baik saja, jangan melebihi porsi bicara. Sadari juga efek samping dari ucapan yang keluar dari mulut kita. Dan jika tidak bisa bicara yang bermanfaat, lebih baik diam atau akan menjadi racun yang membuat hati kita sakit keracunan.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik agar kita tetap berada dalam koridor pengendalian lisan yang benar.

Lanjut ke bagian 2: Bersambung

Baca juga: Berbicara dengan Orang Lain Sesuai dengan Tingkat Pemahamannya

***

Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad

Artikel: Muslim.or.id

 

Sumber:

Disadur dari “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *