Ibadah “berlari menuju Allah” (الفرار الى الله) adalah berlari menuju Allah untuk mendapatkan keselamatan atau perlindungan dari murka Allah dan dari api neraka. Ibadah ini memiliki kedudukan yang agung. Demikian pula, Allah telah menyiapkan balasan bagi orang-orang yang bersegera berlari menuju Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Adz-Dzariyat,

فَفِرُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۖ إِنِّي لَكُم مِّنۡهُ نَذِير مُّبِين

“Maka segeralah berlari menuju kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50)

Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang yang berbahagia dan orang yang celaka. Orang yang berbahagia yaitu orang yang segera berlari menuju Allah Ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang mencari kebahagiaan dan kesuksesan dunia akhirat dengan bersegera berlari menuju Allah. Adapun orang yang celaka yaitu orang yang berlari meninggalkan atau menjauh dari Allah, mereka tidak berlari menuju Allah. Ini adalah jalan dan sebab kebinasaan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379)

Ulama yang lain mengatakan, “Bebaskanlah dirimu dari azab Allah menuju pahala dari Allah dengan iman dan ketaatan.“ (Tafsir Al-Baghawi, 7: 379)

Segala sesuatu yang ditakuti hamba, dia akan berlari menjauh darinya, kecuali Allah. Contoh, orang yang takut api, dia akan berlari menjauh dari api agar tidak terbakar. Orang yang takut binatang buas, dia akan berlari menjauh darinya. Namun, tidak demikian kondisi orang yang takut kepada Allah. Karena barangsiapa yang takut kepada Allah, maka justru ia akan berlari mendekat dan menuju Allah. Allah Ta’ala berfirman menceritakan tobatnya tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk,

حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ وَضَاقَتۡ عَلَيۡهِمۡ أَنفُسُهُمۡ وَظَنُّوٓاْ أَن لَّا مَلۡجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيۡهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيۡهِمۡ لِيَتُوبُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ  

“Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha penerima tobat lagi Maha penyayang.” (QS. At-Taubah: 118)

Seseorang yang berlari menuju Allah Ta’ala pasti menghadapi banyak halangan dan rintangan, yaitu berbagai jenis pelanggaran syariat, baik lahir maupun yang batin, yang akan menghambat atau bahkan menghentikan perjalanannya menuju Allah. Secara umum, terdapat tiga penghalang dan hambatan, yaitu 1) syirik kepada Allah; ini merupakan penghalang paling berat; 2) perbuatan bidah di dalam agama; dan 3) berbagai macam kemakisatan. Seseorang bisa selamat dari perbuatan syirik apabila memurnikan tauhid; seseorang bisa selamat dari bidah apabila berpegang teguh dengan sunah; dan seseorang bisa selamat dari maksiat apabila bertobat dengan tulus.

Seseorang yang berlari menuju Allah membutuhkan tiga hal yang harus dia ilmui dan amalkan, yaitu:

Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah.

Mengenal Allah adalah dengan mengenal nama, sifat, keagungan, kesempurnaan, dan juga mengenal kerasnya hukuman dan siksaan (azab) Allah. Semakin besar pengenalan seorang hamba kepada Allah, maka akan semakin cepat pula proses berlarinya menuju Allah. Allah Ta’ala berfriman,

إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28)

Siapa saja yang mengenal Allah, maka dia akan takut dengan-Nya, bersemangat dalam ibadah, serta menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya.

Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan.

Oleh karena itu, telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379)

Jalan yang harus ditempuh oleh orang yang berlari menuju Allah adalah konsisten di atas jalan Allah yang lurus, tidak menyimpang, tidak berbelok, dan tidak berpaling. Bahkan, dia terus konsisten (istikamah) menempuhnya dengan lurus menuju Allah dengan melakukan berbagai macam kewajiban dan menjauhi berbagai larangan dalam rangka mencari rida dan pahala dari Allah.

Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah.

Orang yang berlari menuju Allah akan selamat dari murka Allah dan mendapatkan kebahagiaan dengan keridaan Allah. Orang yang berlari menuju Allah adalah mereka yang selamat pada hari kiamat dari neraka dan masuk ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ

“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

Tiga hal di atas terkumpul dalam firman Allah Ta’ala,

وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡيَهَا وَهُوَ مُؤۡمِن فَأُوْلَٰٓئِكَ كَانَ سَعۡيُهُم مَّشۡكُورا

“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah seorang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19)

Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan keadaan usaha yang dibalas baik dengan tiga hal, yaitu: 1) menghendaki kehidupan akhirat; 2) mengerahkan usaha dengan sungguh-sungguh; dan 3) pelakunya adalah orang mukmin.” (Fathul Qadir, 3: 258)

Kedudukan semacam ini tidak bisa didapatkan dengan berlambat-lambat, bermalas-malasan, atau menunda-nunda. Akan tetapi, hanya akan diraih dengan bergerak cepat dan bersegera. Allah Ta’ala berfirman,

وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Ali Imran: 133)

سَابِقُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ

“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Al-Hadid: 21)

Barangsiapa yang tidak berlari menuju Allah ketika berada di dunia ini, maka kelak di akhirat dia akan berkata, “Kemanakah tempat berlari?” Padahal, tidak ada lagi tempat (tujuan) berlari ketika itu, karena semuanya sudah terlambat. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا بَرِقَ ٱلۡبَصَرُ  ؛ وَخَسَفَ ٱلۡقَمَرُ ؛ وَجُمِعَ ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ ؛ يَقُولُ ٱلۡإِنسَٰنُ يَوۡمَئِذٍ أَيۡنَ ٱلۡمَفَرُّ ؛ كَلَّا لَا وَزَرَ

“Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata, “Ke manakah tempat berlari?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!” (QS. Al-Qiyamah: 7-11)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإ يَوۡمَئِذ وَمَا لَكُم مِّن نَّكِير

“Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).” (QS. Asy-Syura: 47)

Maksudnya, tidak ada bagimu pelindung yang akan melindungimu, dan tidak ada pula tempat yang menutupimu sehingga engkau bisa bersembunyi dari penglihatan Allah. Bahkan, Allah meliputimu dengan ilmu, penglihatan, serta kekuasaan-Nya. Maka tidak ada tempat perlindungan kecuali hanya kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 215)

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk bisa bertobat dengan setulus-tulusnya dan menjadi hamba yang senantiasa berlari menuju kepada Allah dengan sebaik-sebaiknya. Dialah satu-satunya tempat kembali dan tempat bergantung, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata.

Baca juga: Berjuang Menundukkan Hawa Nafsu

***

@Rumah Kasongan, 19 Syawal 1445/ 28 April 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 33; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *