Telah kita ketahui bersama bahwa wakaf maknanya adalah menahan hak milik atas materi/fisik harta benda dari diri kita lalu menyedekahkan manfaat atau faedahnya untuk kebaikan umat Islam, kepentingan agama, dan/atau kepada penerima wakaf yang telah ditentukan oleh diri kita, seperti wakaf bangunan untuk sebuah yayasan pendidikan misalnya. Lalu, bolehkah jika wakaf tersebut peruntukannya kita khususkan untuk keluarga atau kerabat kita saja?
Kasus seperti ini ada landasan hukumnya dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu tatkala turun ayat ke-92 dari surah Ali Imran yang berbunyi,
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)
Disebutkan di dalam hadis yang sahih,
كانَ أبو طَلْحَةَ أكْثَرَ الأنْصَارِ بالمَدِينَةِ مَالًا مِن نَخْلٍ، وكانَ أحَبُّ أمْوَالِهِ إلَيْهِ بَيْرُحَاءَ، وكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ المَسْجِدِ، وكانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَدْخُلُهَا ويَشْرَبُ مِن مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ. قَالَ أنَسٌ: فَلَمَّا أُنْزِلَتْ هذِه الآيَةُ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} [آل عمران: 92] قَامَ أبو طَلْحَةَ إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَقَالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وتَعَالَى يقولُ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} [آل عمران: 92]، وإنَّ أحَبَّ أمْوَالِي إلَيَّ بَيْرُحَاءَ، وإنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ، أرْجُو برَّهَا وذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ، فَضَعْهَا يا رَسولَ اللَّهِ حَيْثُ أرَاكَ اللَّهُ. قَالَ: فَقَالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: بَخٍ، ذلكَ مَالٌ رَابِحٌ، ذلكَ مَالٌ رَابِحٌ، وقدْ سَمِعْتُ ما قُلْتَ، وإنِّي أرَى أنْ تَجْعَلَهَا في الأقْرَبِينَ. فَقَالَ أبو طَلْحَةَ: أفْعَلُ يا رَسولَ اللَّهِ. فَقَسَمَهَا أبو طَلْحَةَ في أقَارِبِهِ وبَنِي عَمِّهِ.
“Abu Thalhah adalah orang yang paling banyak hartanya dari kalangan Anshar di kota Madinah berupa kebun pohon kurma. Harta yang paling dicintainya adalah Bairuha’ (sumur yang ada di kebun itu) yang menghadap ke masjid dan Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang baik. Anas berkata, ‘Ketika firman Allah Ta’ala (QS. Ali ‘Imran: 92 yang artinya), ‘Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.’ turun, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.’ Dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha’ itu dan aku mensedekahkannya di jalan Allah dengan berharap kebaikan dan simpanan pahala di sisi-Nya, maka ambillah wahai Rasulullah sebagaimana petunjuk Allah kepadamu.’” Dia (Anas) berkata, “Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wah, inilah harta yang menguntungkan, inilah harta yang menguntungkan. Sungguh, aku sudah mendengar apa yang kamu niatkan dan aku berpendapat sebaiknya kamu sedekahkan untuk kerabatmu.’ Maka, Abu Thalhah berkata, ‘Akan aku laksanakan wahai Rasulullah.’ Maka, Abu Thalhah membagi (wakaf tersebut) untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya.” (HR. Bukhari no. 1461 dan Muslim no. 998)
Atas masukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu mewakafkan sumur tersebut untuk kerabat dan keluarganya. Hal ini menunjukkan bolehnya wakaf yang dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiri. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus dari sedekah yang kita berikan untuk keluarga sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّدقةُ على المسْكينِ صدقةٌ، وعلى ذي القرابةِ اثنتان: صدقةٌ وصلةٌ
“Sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua: pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. Tirmidzi no. 658, An-Nasa’i no. 2582, dan Ibnu Majah no. 1844.)
Beberapa sahabat Nabi yang lainnya pun melakukan hal yang sama. Al-Imam Al-Khassaf menyebutkan kisah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu,
رُويَ أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه حبس رباعًا له كانت بمكة وتركها، فلا يعلم أنها ورثت عنه، ولكن يسكنها من حضر من ولده وولد ولده ونسله بمكة، ولم يتوارثوها
“Diriwayatkan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mewakafkan sebidang tanahnya atau rumahnya di Makkah lalu meninggalkannya, hingga kemudian tidak ada yang mengetahui bahwa tanah tersebut adalah warisan darinya. Akan tetapi, bila anak keturunannya datang ke Makkah, maka akan menempati rumah tersebut dan mereka pun tidak mewariskan tanah tersebut (karena telah diniatkan sebagai wakaf oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu).” (Ahkam Al-Auqaf, hal. 8).
Praktik wakaf ahli (wakaf keluarga) dalam dunia Islam[1]
Wakaf ahli terus dilaksanakan oleh umat Islam, tercatat bahwa Imam Syafi’i mewakafkan rumahnya di Fustat (Kairo) untuk anak keturunannya. Pada saat khilafah Utsmaniyah berkuasa di Turki, pada abad 18, tercatat pendapatan wakaf ahli sebesar 14.20% dan pada abad 19, sebesar 16.87% dari total pendapatan wakaf.
Di Aleppo antara tahun 1718 dan 1800 dari total 687 wakaf, jumlah wakaf ahli (wakaf untuk keluarga dan kerabat) sebanyak 39.3%, wakaf khairi (murni dalam rangka kebaikan dan diperuntukkan untuk sosial masyarakat umum) sebanyak 50.7%, dan wakaf musytarak (wakaf ahli yang dikombinasikan dengan wakaf khairi/sosial) sebanyak 10%. Bahkan, di Mesir wakaf ahli lebih populer dan pada tahun 1928-1929 menghasilkan lebih banyak pendapatan daripada jenis wakaf lainnya.
Dalam sejarahnya, meskipun wakaf ahli bagian dari ajaran Islam yang ditetapkan oleh Rasulullah dan sudah banyak praktiknya, namun beberapa negara telah menghapus atau membatalkannya, seperti Turki tahun 1926, Lebanon tahun 1948, Syria tahun 1949, Mesir tahun 1952, Irak tahun 1954, Libya tahun 1974, dan Emirat tahun 1980.
Penghapusan wakaf ahli ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
Pertama: Adanya tekanan dari penjajah.
Kedua: Dianggap melanggar hukum waris.
Ketiga: Buruknya pengelolaan wakaf ahli.
Keempat: Dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum.
Namun demikian, masih banyak negara yang tetap melegalkan praktik wakaf ahli seperti Kuwait, Singapura, Malaysia, dan Indonesia karena dianggap dapat mewujudkan kemaslahatan yang besar, yaitu mendorong orang untuk berwakaf dan memperbanyak harta wakaf.
Hukum wakaf keluarga di negeri kita tercinta
Di Indonesia, wakaf ahli (wakaf keluarga) diatur dalam Pasal 30 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang wakaf yang berbunyi,
“Pernyataan kehendak wakif dapat dalam bentuk wakaf khairi atau wakaf ahli. Wakaf ahli diperuntukkan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan wakif. Dalam hal sesama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka wakaf ahli (karena hukum) beralih statusnya menjadi wakaf khairi yang peruntukannya ditetapkan oleh menteri berdasarkan pertimbangan BWI.”
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam wakaf ahli (wakaf untuk keluarga)
Pertama: Untuk mengantisipasi masalah, maka perlu ada pencatatan secara detail terhadap praktik wakaf ahli tersebut dalam Akta Ikrar Wakaf, dan disertifikatkan. Karena sampai dengan waktu terbitnya buku berjudul ‘Wakaf Kontemporer’, belum dicantumkan secara jelas jenis wakaf yang bisa dipilih oleh waqif dalam Akta Ikrar Wakaf tersebut.
Kedua: Akta Ikrar Wakaf hendaknya memuat dengan jelas dan rinci tentang siapa saja yang menerima, apa hanya anak kandung atau sampai cucu, atau sampai berapa generasi. Karena sebagaimana tercantum dalam undang-undang wakaf yang berlaku, jika nantinya kerabat atau keluarga yang memiliki hak manfaat dari objek wakaf telah habis dan tidak tersisa, wakaf tersebut berubah menjadi wakaf khairi yang manfaatnya dapat digunakan oleh masyarakat luas.
Ketiga: Dalam praktiknya, beberapa ulama lebih menganjurkan untuk meniatkan wakaf sebagai wakaf musytarak, yaitu kombinasi wakaf ahli dan wakaf khairi, sehingga objek wakaf dapat dirasakan manfaatnya tidak hanya oleh keluarga waqif saja, akan tetapi bisa dirasakan juga oleh masyarakat luas. Waqif pun tidak khawatir, karena kesejahteraan keluarganya dapat tercukupi dengan manfaat dari wakaf tersebut.
Wallahu A’lam Bisshawab.
Kembali ke bagian 6: Bolehkah Wakaf dalam Bentuk Uang?
Lanjut ke bagian 8: Bersambung
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Sumber: Wakaf Kontemporer, hal. 97-100, karya Dr. Fahruroji, Lc., M.A.
Leave a Reply