Banyak dari kaum muslimin yang bertayamum untuk salat ketika mereka sedang safar, baik dengan bus, kapal, ataupun pesawat. Apakah hal itu dibenarkan? Apakah safar merupakan uzur/ alasan diperbolehkannya tayamum sebagai ganti dari wudu untuk salat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua.
Bersuci merupakan syarat sahnya salat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
“Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.” [1]
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah, dalam kitabnya Manhajus Salikin wa Taudhihul Fiqh Fiddin mengatakan,
وَأَمَّا اَلصَّلَاةُ: فَلَهَا شُرُوطٌ تتقدم عليها، فمنها: اَلطَّهَارَةُ: كَمَا قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: “لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيرِ طُهُورٍ”، فَمَنْ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنَ اَلْحَدَثِ الأكبر والأصغر والنجاسة فلا صلاة له
“Salat memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Di antaranya:
Bersuci: sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Allah tidak menerima salat tanpa bersuci.’ [2]
Maka, barangsiapa yang tidak bersuci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis, maka tidak ada salat baginya.” [3]
Asal bersuci adalah dengan air
Hukum asal bersuci adalah dengan air. Apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu.
Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan,
والطهارة نوعان: أحدهما: الطهارة بالماء، وَهِيَ اَلْأَصْلُ
“Bersuci ada dua macam: Pertama, bersuci dengan air, dan inilah yang menjadi asal. …” [4]
Dasar dari hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآء لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” [5]
Selain itu, Allah juga berfirman,
… أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ …
“…atau kamu menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah…” [6]
Maka, Allah menyebutkan air terlebih dahulu, dan apabila tidak ada, maka boleh beralih ke tayamum dengan debu. [7]
Tayamum sebagai pengganti air
Apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya, maka sebagai gantinya, diperbolehkan bertayamum.
Syekh As-Si’diy rahimahullah juga mengatakan,
اَلنَّوْعُ اَلثَّانِي مِنَ اَلطَّهَارَةِ هو التيمم
وَهُوَ بَدَلٌ عَنِ اَلْمَاءِ، إِذَا تَعْذَّرَ اِسْتِعْمَالُ اَلْمَاءِ لِأَعْضَاءِ اَلطَّهَارَةِ، أَوْ بَعْضِهَا لِعَدَمِهِ، أَوْ خَوْفِ ضَرَرٍ بِاسْتِعْمَالِهِ فَيَقُومُ اَلتُّرَابُ مَقَامَ اَلْمَاءِ
“Macam kedua dari bersuci adalah tayamum.
Tayamum adalah pengganti air, apabila tidak dapat menggunakan air untuk anggota-anggota wudu, atau sebagiannya, karena tidak ada air atau khawatir akan membahayakan jika menggunakannya.
Maka, debu dapat menggantikan posisi air.” [8]
Baca juga: Hukum Menghadap Kiblat ketika Salat di Kapal atau Pesawat
Yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air
Diperbolehkan bertayamum karena ketidakmampuan menggunakan air, baik karena tidak ada air maupun tidak mampu menggunakannya, meskipun ada.
Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,
“Yang membolehkan tayamum pada hakikatnya hanya satu hal, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini, bisa karena tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada.
Pertama: Tidak ada air
Apabila seorang musafir tidak menemukan air sama sekali, atau menemukan air yang tidak cukup untuk bersuci, maka ia boleh bertayamum. Akan tetapi, menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, ia wajib menggunakan air yang ada untuk sebagian anggota wudu, kemudian bertayamum untuk sisanya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini apabila tidak menemukan air. Adapun apabila menemukan air pada orang lain atau lupa meninggalkannya di perjalanan, apakah ia wajib membelinya atau menerima pemberiannya?
Orang yang menemukan air pada orang lain wajib membelinya apabila harganya sesuai atau dengan sedikit kerugian, dan ia memiliki uang lebih dari kebutuhannya. Apabila tidak menemukannya, kecuali dengan kerugian yang sangat besar atau tidak memiliki uang untuk membelinya, maka ia bertayamum.
Jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah) berpendapat, dan ini juga pendapat yang paling kuat menurut mazhab Syafi’i, bahwa apabila ia diberi air atau dipinjami ember, maka ia wajib menerimanya.
Kedua: Tidak mampu menggunakan air
Hal ini bisa terjadi karena sakit, takut sakit karena kedinginan dan semisalnya, atau tidak mampu menggunakannya. Berikut ini penjelasan ringkas dari ketiga sebab tersebut:
Pertama, sakit
Para ulama sepakat tentang bolehnya tayamum bagi orang sakit apabila ia yakin akan membahayakan dirinya. Demikian juga, menurut mayoritas ulama, apabila ia khawatir menggunakan air untuk wudu atau mandi akan membahayakan dirinya, anggota tubuhnya, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya. Hal ini diketahui berdasarkan kebiasaan atau keterangan dokter yang ahli, muslim, adil, dan terpercaya.
Kedua: Takut sakit karena kedinginan dan semisalnya
Jumhur ulama berpendapat bolehnya tayamum bagi orang yang khawatir menggunakan air dalam cuaca dingin yang sangat akan membahayakan dirinya, menimbulkan penyakit, memperparah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya, apabila ia tidak menemukan sesuatu untuk memanaskan air atau tidak mampu membayar biaya pemandian atau penghangat, baik untuk hadas besar maupun hadas kecil. Hal ini berdasarkan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tayamum Amr bin Al-Ash karena takut kedinginan dan shalatnya bersama orang-orang sebagai imam, dan Nabi tidak memerintahkannya untuk mengulanginya.
Ketiga: Tidak mampu menggunakan air
Orang yang tidak mampu menggunakan air boleh bertayamum dan tidak mengulanginya, seperti orang yang terpaksa, terpenjara, terikat di dekat air, atau takut terhadap binatang atau manusia, baik dalam perjalanan maupun di rumah. Karena ia dianggap tidak memiliki air secara hukum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ
“Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci seorang muslim meskipun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Apabila ia menemukan air, hendaklah ia membasuh kulitnya dengannya, karena itu lebih baik.” (HR. Tirmidzi, 1:212 dan Al-Hakim, 1:176 – 177. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
Keempat: Membutuhkan air
Orang yang meyakini atau menduga bahwa ia membutuhkan air yang dimilikinya, meskipun di masa depan, boleh bertayamum dan tidak mengulanginya. Misalnya, untuk menghilangkan dahaga orang yang darahnya terlindungi atau binatang yang dihormati secara syar’i (meskipun anjing pemburu atau penjaga) yang kehausannya dapat menyebabkan kematian atau bahaya yang parah. [9]
Kesimpulan dari penjelasan di atas
Semata-mata safar, tidak cukup menjadi alasan untuk membolehkan tayamum sebagai pengganti wudu untuk salat. Dalam keadaan-keadaan tertentu ketika safar, bisa jadi mendapatkan keringan untuk bertayamum.
Jika bertayamum untuk salat, padahal tidak alasan (uzur) yang membolehkannya, maka salatnya tidak sah. Wallaahu a’lam. [10]
Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang hukum bertayamum untuk salat ketika safar. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.
Baca juga: Hukum dan Tata Cara Salat dengan Duduk di Atas Kendaraan
***
2 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.
Penulis: Prasetyo, S.Kom.
Artikel: Muslim.or.id
Referensi utama:
Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy, Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, cet. ke-1 1430.
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shafwah – Mesir, cet. ke-1, th 1421 (maktabah syamilah).
Catatan kaki:
[1] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225, dari Abu Hurairah
[2] HR. Muslim no. 224
[3] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 27.
[4] Idem
[5] QS. Al-Anfal: 11
[6] QS. Al-Maidah: 6
[7] Syarh Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, Syekh Sulaimian bin Muhammad Al-Luhaimid, 1/:24, maktabah syamilah.
[8] Ad-Dalil ‘ala Manhajis Salikin wa Taudhihul Fiqh fiddin, hal. 51.
[9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14:255 – 259.
[10] Lihat
Leave a Reply