Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1)

Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1)

Teks hadis

Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah memiliki kemampuan, maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905)

Kandungan hadis

Kandungan pertama

Hadis di atas ditujukan kepada para pemuda. Siapakah yang disebut dengan “pemuda” (asy-syabab) itu? Asy-syabab memiliki makna asal: aktivitas dan semangat. Hal ini karena pada masa itu, seseorang memiliki lebih banyak aktivitas dan semangat dibandingkan periode kehidupan yang lainnya. Kata asy-syabab dimaksudkan untuk orang yang telah baligh hingga mencapai usia tiga puluh tahun. Ada pula yang menyebutkan hingga usia tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun. Namun, ada pula yang menyebutkan hingga usia empat puluh tahun. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 182; Al-I’lam li Ibnil Mulaqqin, 8: 109; Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 333)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan menyebutkan para pemuda dalam hadis ini karena masa muda adalah masa bergejolak dan meletupnya syahwat yang mendorong untuk jimak (hubungan badan). Berbeda halnya dengan orang-orang yang sudah setengah baya atau tua renta. Akan tetapi, jika kondisi yang sama juga didapatkan pada orang setengah baya atau tua renta, maka mereka pun tercakup dalam seruan hadis ini, karena memiliki alasan (sebab) yang sama.

Kandungan kedua

Apakah yang dimaksud dengan “mampu” (al-ba’ah) dalam hadis ini? Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-ba’ah, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kemampuan untuk berjimak. Sehingga makna hadis tersebut menjadi, “Siapa saja di antara kalian yang mampu berjimak karena sudah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar, nafkah, atau tempat tinggal, maka hendaklah dia menikah.” Pendapat kedua mengatakan bahwa maknanya adalah memiliki biaya untuk menikah, baik mahar atau nafkah. (Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 9: 183; Fathul Bari, 9: 108)

Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, dengan beberapa alasan berikut ini:

Pertama, seruan tersebut ditujukan kepada para pemuda yang memang sudah mampu untuk berjimak. Sehingga kurang sesuai apabila dimaknai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk berjimak.” Hal ini karena memang masa muda itu adalah masa di mana seseorang secara umum sudah mampu untuk berjimak.

Kedua, di ahir hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, Siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa.” Jika “mampu” tersebut dimaknai dengan mampu berjimak, maka kalimat tersebut menjadi aneh. Karena orang yang belum mampu berjimak (atau belum ada gejolak syahwat untuk berjimak), tidak perlu berpuasa untuk bisa menahan syahwatnya.

Ketiga, hadis tersebut juga terdapat dalam Sunan An-Nasa’i dengan lafal,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ

“Siapa saja di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaknya dia menikah .. “ (HR. An-Nasa’i no. 3206)

Oleh karena itu, hadis ini merupakan dorongan dan motivasi kepada para pemuda yang memiliki biaya untuk menikah. Karena menikah itu memiliki maslahat yang besar. Menikah memiliki hikmah yang agung, yaitu bisa menjaganya dari terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan.

Meskipun demikian, tidak masalah jika “mampu” tersebut dimaknai lebih umum, yaitu mencakup kedua makna tersebut sekaligus: mampu untuk berjimak dan mampu menanggung biaya menikah. (Lihat Al-I’lam, 8: 110)

Kandungan ketiga

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah ketika faktor pendorongnya terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang, menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama, hukum menikah adalah wajib. Ini adalah pendapat Dawud bin ‘Ali, Ibnu Hazm, Abu ‘Awanah (salah satu ulama Syafi’iyyah), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. (Lihat Musnad Abu ‘Awanah, 3: 5; Al-Mughni, 9: 340; Al-Muhalla, 9: 440)

Mereka berdalil dengan perintah untuk menikah, seperti firman Allah Ta’ala,

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء

“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi … “ (QS. An-Nisa’: 3)

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian .. “ (QS. An-Nuur: 32)

Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah berkata, “Diksi kata perintah itu zahirnya menunjukkan hukum wajib.”

Pendapat kedua, menikah itu sunah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang tiga (Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik), serta pendapat kedua dari Imam Ahmad. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 7; Syarh Fathul Qadir, 3: 187; Al-Mughni, 9: 340; Mughni Al-Muhtaj, 3: 127)

Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa apabila keinginan (kebutuhan) terhadap menikah itu sangat mendesak, dari sisi dia takut bahwa dirinya akan terjerumus ke dalam zina, maka wajib baginya menikah apabila memiliki kemampuan menanggung biaya nikah.

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6)

Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut jelas menunjukkan pujian kepada orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan zina dengan (menyetubuhi) budak-budak yang mereka miliki, sehingga tidak perlu menikah. Seandainya hukum menikah itu wajib, maka orang yang tidak menikah itu tidak akan mendapatkan pujian. Karena orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak dipuji, tetapi dicela.

Mereka juga berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas saat ini. Sisi pendalilannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan puasa sebagai pengganti menikah, sedangkan puasa dalam kondisi ini tidaklah sampai derajat wajib. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menikah itu tidak wajib. Amal yang tidak wajib (yaitu puasa) tidak bisa menggantikan amal yang wajib (yaitu menikah). (Lihat Al-Mu’lim, 2: 85; karya Al-Maziri)

Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu Ta’ala a’lam, adalah wajibnya menikah secara mutlak dengan dua syarat: (1) jika dia memiliki syahwat; dan (2) memiliki kemampuan menanggung biaya nikah, berdasarkan atas hadis ini. Juga karena mencegah perkara haram itu wajib, sedangkan perkara yang menjadi sarana mengerjakan perkara wajib itu juga hukumnya wajib. Betapa bagusnya perkataan Al-Qurthubi, ‘Orang yang mampu (menikah) yang dikhawatirkan terdapat marabahaya (mudarat) pada diri dan agamanya jika tidak menikah, dan marabahaya tersebut tidak akan hilang kecuali dengan menikah, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menikah atas dirinya.’ (Al-Mufhim, 4: 82)” (Dikutip dari Minhatul ‘Allam, 7: 174)

[Bersambung]

***

@BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177).

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *