Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2)

Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 2)

Kandungan hadis (lanjutan)

Kandungan keempat

Hadis ini juga menunjukkan bahwa hendaknya seseorang tidak menyusahkan diri atau memaksakan diri untuk menikah ketika hal itu belum memungkinkan baginya, misalnya dengan berhutang. Hal ini karena di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk untuk berpuasa jika belum mampu menikah. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa dalam masalah ini, terdapat perselisihan pendapat antara Imam Ahmad dan selainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33)

Zahir ayat tersebut menunjukkan bahwa hendaknya orang miskin itu tidak sampai berhutang untuk menikah. Akan tetapi, hendaknya dia berusaha bertakwa dengan menjaga kesucian dirinya (dari perbuatan zina) sampai Allah membuatnya mampu dengan karunia dari-Nya.

Berusaha menjaga kesucian diri ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) (Lihat Al-Fatawa, 32: 6; Adhwa’ul Bayan, 6: 219)

Kandungan kelima

Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa di dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berobat untuk meredakan syahwat untuk berjimak, dengan obat-obatan tertentu atau semisalnya. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 3: 3)

Akan tetapi, hendaknya obat-obatan ini hanya untuk meredakan atau meringankan syahwatnya, tidak sampai menghilangkannya sama sekali, karena dianalogikan dengan puasa. Jika sampai menghilangkan syahwat secara total, maka terlarang menurut syariat dengan dua alasan berikut ini:

Pertama, bisa jadi Allah Ta’ala memberikan kemampuan untuknya sehingga memiliki biaya untuk menikah dan juga memudahkan sebab-sebab untuk menikah. Allah Ta’ala telah berjanji kepada orang-orang yang menjaga kesucian dirinya bahwa Dia akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.

Kedua, para ulama telah sepakat (ijmak) terlarangnya al-jabb dan al-khishaa’, yaitu kebiri. Sehingga diqiyaskan dengannya perbuatan lain yang bisa menghilangkan syahwat sama sekali, termasuk dengan obat-obatan.

Baca juga: Anggapan Sial Menikah di Bulan Muharam

Kandungan keenam

Sebagian ulama Malikiyah berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan haramnya istimna’ (onani). Sisi pendalilannya adalah, jika onani itu diperbolehkan (mubah), maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyebutkannya sebagai solusi, karena onani tentu lebih mudah dan lebih ringan (daripada puasa), dan juga mengandung unsur kenikmatan.

Hukum onani adalah haram menurut mayoritas (jumhur) ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Imam Ahmad. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pendapat ulama yang mengatakan bolehnya istimna’ untuk meredakan syahwat itu tidak perlu dianggap. Hal ini karena mudarat perbuatan istimna’ itu besar. Maka pendapat yang benar adalah haram, tidak boleh dilakukan, baik dengan tujuan untuk meredakan syahwat atau tujuan-tujuan lainnya. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575)

Ulama yang berpendapat haramnya istimna’ juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu’minun: 5-7)

Maksud “orang-orang yang melampaui batas” dalam ayat di atas adalah mereka yang melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan tersebut.

Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33)

Yang dimaksud dengan isti’faf adalah menjaga kesucian diri dengan menjaga kemaluan dari semua bentuk penyaluran syahwat yang haram. Perintah ini menunjukkan hukum wajib. (Lihat Al-Umm karya Asy-Syafi’i, 5: 101-102, 156)

Ketika membahas hukum istimna’, sejumlah ulama menyebutkan bahwa istimna’ memiliki mudarat yang besar, di antaranya dapat melemahkan badan atau dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami-istri (ketika sudah menikah). Ini adalah alasan lain diharamkannya istimna’.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum onani adalah makruh, tidak berdosa, dan pelakunya tidak berhak mendapatkan hukuman. Ini adalah pendapat ulama Zahiriyah, juga diriwayatkan dari sejumlah ulama salaf bahwa mereka membolehkannya. (Lihat Al-Mushannaf karya Abdur Razaq, 7: 390-392; Al-Muhalla, 11: 392)

Alasannya, karena tidak ada dalil tegas yang menunjukkan haramnya. Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan sisi makruhnya onani, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dalam akhlak yang mulia dan utama. Ulama yang berpendapat boleh, mereka tidak melihat bahwa dalil-dalil yang dibawakan oleh ulama yang mengharamkan itu cukup kuat untuk menyimpulkan hukum haram, karena sisi pendalilannya yang tidak tegas untuk menunjukkan hukum haram. Demikian pula, mudarat-mudarat yang mereka sebutkan dari perbuatan istimna’ juga tidak cukup menunjukkan hukum haramnya. Pendapat kedua ini dipilih oleh Asy-Syaukani rahimahullah dan beliau memiliki kitab khusus dalam masalah ini.

Para ulama fikih mengecualikan bagi orang yang takut terjerumus ke dalam zina atau terjerumus dalam perbuatan homoseksual. Mereka mengatakan bahwa istimna’ itu diperbolehkan untuk mereka, karena mereka berada dalam kondisi terdesak, dengan syarat bahwa mereka memang tidak mampu menikah, meskipun hanya dengan menikahi budak wanita. (Lihat Syarh Al-Muntaha lil Buhuti, 6: 229)

Ibnu Rajab rahimahullah mengutip pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali bahwa beliau mengharamkan istimna’, apapun kondisinya, dan beliau juga menyebutkan sejumlah riwayat lainnya. (Lihat Adz-Dzail ‘ala Thabaqat Al-Hanabilah, 1: 159)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istimna’ dengan menggunakan tangan itu hukumnya haram menurut jumhur ulama. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat dalam mazhab Imam Ahmad. Demikian pula, pelakunya berhak mendapatkan hukuman ta’zir (hukuman yang bentuk dan kadarnya ditentukan oleh ijtihad penguasa). Pendapat lain mengatakan bahwa hukumnya makruh, tidak sampai haram. Mayoritas (jumhur) ulama tidak memperbolehkannya meskipun khawatir terhadap zina atau kekhawatiran lainnya. Dikutip dari sejumlah sahabat dan tabi’in bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) istimna’ dalam situasi terdesak (darurat). Misalnya, dia sangat khawatir terjerumus zina dan dia tidak bisa menghindar darinya kecuali dengan melakukan istimna’. Atau, jika dia tidak melakukannya, dia bisa jatuh sakit. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan ulama yang lainnya. Adapun jika tidak dalam kondisi darurat, maka aku tidak mengetahui ada ulama yang memberikan keringanan. Wallahu a’lam.” (Al-Fatawa, 10: 573-575; 34: 229. Lihat pula Badai’ Al-Fawaid, 4: 1471)

[Selesai]

Kembali ke bagian 1: Perintah kepada Para Pemuda untuk Menikah (Bag. 1)

***

“Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.”

@BA, 28 Syawal 1445/ 7 Mei 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 170-177).

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *