Cara Rukuk dan Sujud dalam Salat Sambil Duduk atau Berbaring

Cara Rukuk dan Sujud dalam Salat Sambil Duduk atau Berbaring

Salat sunah merupakan amalan yang sangat penting, yang perlu dikerjakan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperbolehkan melakukan salat sunah sambil duduk, meskipun mampu berdiri. Karena jika diwajibkan untuk berdiri, maka akan sulit untuk membiasakan kebaikan ini.

Selain itu, banyak orang merasa kesulitan untuk berdiri lama. Jika berdiri diwajibkan (dalam salat sunah), maka kebanyakan salat sunah akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pembuat syariat memberi keringanan untuk tidak berdiri di dalamnya sebagai dorongan untuk memperbanyak salat sunah, sebagaimana keringanan untuk melakukannya di atas kendaraan saat bepergian. [1]

Diperbolehkannya salat sunah sambil duduk

Baik karena ada uzur atau tidak ada uzur, diperbolehkannya salat sunah sambil duduk.

Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk. Beliau bersabda,

مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَل وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ

Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.[2]

Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya salat sunah sambil duduk baik karena ada uzur atau tidak ada uzur. [3]

Cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk

Orang yang salat dengan duduk, boleh baginya memilih antara berdiri atau duduk saat rukuk dan sujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan keduanya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan,

أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً، قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَل فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْل ذَلِكَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat sambil duduk, beliau membaca (Al-Qur’an) sambil duduk. Ketika bacaannya tersisa sekitar tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri, lalu membaca sambil berdiri. Kemudian rukuk, lalu sujud, kemudian melakukan hal yang sama pada rakaat kedua.[4]

Dan dalam hadis yang lain, masih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha [5], beliau menceritakan,

أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا، وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا، وَكَانَ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَائِمٌ، وَإِذَا قَرَأَ وَهُوَ قَاعِدٌ رَكَعَ وَسَجَدَ وَهُوَ قَاعِدٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa salat malam dalam waktu lama sambil berdiri, dan dalam waktu lama sambil duduk. Ketika beliau membaca sambil berdiri, beliau rukuk dan sujud sambil berdiri. Dan ketika beliau membaca sambil duduk, beliau rukuk dan sujud sambil duduk.[6]

Salat sunah sambil berbaring dan cara rukuk dan sujud di dalamnya

Sebagian ulama berpendapat bolehnya seseorang salat sunah sambil berbaring, walaupun dia bisa berdiri atau duduk.

Dalil dari hal tersebut adalah hadis dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu mengalami sakit bisul, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat seseorang sambil duduk, maka beliau bersabda,

مَن صَلَّى قَائِمًا فَهو أفْضَلُ، ومَن صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَائِمِ، ومَن صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أجْرِ القَاعِدِ

Barangsiapa salat sambil berdiri, maka itu lebih utama. Dan barangsiapa salat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang berdiri. Dan barangsiapa salat sambil tidur, maka baginya setengah pahala orang yang duduk.’[7]

Setelah membawakan hadis di atas, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,

والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان

(أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران.

Yang dimaksud dengan tidur (dalam hadis di atas) adalah berbaring (miring). Jika seseorang salat sunah sambil berbaring dengan memberi isyarat kepala (ketika rukuk dan sujud), padahal mampu berdiri dan duduk, maka ada dua pendapat:

(Pertama) Salatnya tidak sah karena menghilangkan bentuk salat tanpa uzur, dan ini yang lebih kuat menurut Imam al-Haramain.

(Kedua) Dan ini yang benar, salatnya sah berdasarkan hadis Imran (di atas).[8]

Baca juga: Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat

Salat wajib tidak boleh dilakukan sambil duduk atau berbaring, kecuali ada uzur

Semua yang disebutkan di atas adalah untuk salat sunah. Adapun salat wajib, para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun di dalam salat bagi yang mampu.

Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku menderita wasir, maka aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang salat, maka beliau bersabda,

صَل قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Salatlah sambil berdiri! Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring miring.[9]

Para ulama sepakat bahwa berdiri adalah rukun dalam salat wajib bagi yang mampu melakukannya. [10]

Dalam salat wajib, rukuk dan sujud tidak gugur karena tidak bisa berdiri

Barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam salat wajib, maka dia boleh salat sambil duduk, tetapi rukuk dan sujud tidak gugur darinya jika dia mampu melakukannya. Demikian juga, barangsiapa yang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Maka, yang mudah tidak gugur karena yang sulit, sebagaimana kaedah,

الميسور لا يسقط بالمعسور

Sesuatu yang mudah tidak gugur karena sesuatu yang sulit.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

[ومن قَدَرَ على القِيَامِ، وعَجَزَ عن الرُّكُوعِ أو السُّجُودِ، ‌لم ‌يَسْقُطْ ‌عنه ‌القِيَامُ]، ويُصَلِّى قائِمًا، فَيُومِئُ بالرُّكُوعِ، ثم يَجْلِسُ فَيُومِئُ بالسُّجُودِ

Barangsiapa yang mampu berdiri, tetapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka berdiri tidak gugur darinya. Dia salat sambil berdiri, lalu memberi isyarat dengan rukuk, kemudian duduk, lalu memberi isyarat dengan sujud.[11]

Penjelasan rinci tentang bab ini telah disebutkan oleh para ulama dalam hukum salat orang yang memiliki uzur.

Ringkasan dari penjelasan di atas

Pertama: Dalam salat wajib, tidak boleh berpindah dari satu posisi ke posisi yang lebih rendah, kecuali ada uzur. Sedangkan dalam salat sunah, boleh (walaupun tanpa uzur) berpindah ke posisi salat sambil duduk dan berbaring dengan syarat tidak berbaring telentang.

Kedua: Rukuk dan sujud tidak terkait dengan berdiri dalam salat wajib. Sehingga jika mampu melakukan rukuk dan sujud, keduanya tidak gugur, meskipun tidak bisa berdiri. Adapun dalam salat sunah, keduanya mengikuti posisi berdiri. Jika berdiri ditinggalkan, maka boleh meninggalkan rukuk dan sujud sambil berdiri (meskipun mampu). [12]

Catatan tentang salat sunah sambil berbaring

Pertama: Jumhur ulama berpendapat bahwa salat sunah sambil berbaring tidak diperbolehkan.

Ibnu Taimiyah berkata, “Salat sunnah sambil berbaring tanpa uzur tidak diperbolehkan, kecuali oleh sekelompok kecil dari pengikut Syafi’i dan Ahmad. Dan kami tidak mendapatkan riwayat dari salah satu dari mereka bahwa mereka salat sambil berbaring tanpa uzur. Dan jika ini diperbolehkan, tentu mereka akan melakukannya.” [13]

Oleh karena itu, hendaknya hal ini tidak sering dipraktikkan, apalagi dijadikan sebagai kebiasaan. Wallahu a’lam.

Kedua: Yang dimaksud dengan berbaring adalah berbaring miring.

Jika seseorang berbaring telentang, padahal mampu berbaring miring, maka salatnya tidak sah. [14]

Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang cara rukuk dan sujud dalam salat sambil duduk atau berbaring. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

Baca juga: Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar

***

14 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi utama:

Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Tim Ulama Kuwait, Dar Shofwah – Mesir, cet. ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah)

Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah, Dar Alamil Kutub – Saudi, cet. ke-3, 1417 (Maktabah Syamilah)

 

Catatan kaki:

[1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161.

[2] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 586.)

[3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 109.

[4] HR. Muslim (1: 505 – cetakan Halabi)

[5] HR. Muslim (1: 504 – cetakan Halabi)

[6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27: 161-162.

[7] HR. Bukhari no. 1116.

[8] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3: 275.

[9] HR. Bukhari (Fath Al-Bari, 2: 587, cetakan Salafiyah)

[10] Al-Mughni, 1: 463, Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34: 106.

[11] Al-Mughni, 2: 572.

[12]

[13] Al-Nukat wa Al-Fawaid Al-Sunniyah, 1: 87 dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 27: 163. Lihat juga

[14] Syarh Al-Nawawi ‘ala Muslim, 6: 15.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *