“Hal ini karena suami mempunyai hak untuk bersenang-senang dengan istri setiap hari. Hak ini sekaligus menjadi kewajiban seorang istri untuk melayani suaminya dengan segera. Kewajiban itu tidak boleh diabaikan dengan alasan sedang melakukan amalan sunnah atau amalan wajib yang dapat ditunda pelaksanaannya.”
[Syarah Shahih Muslim VII/115].

*Apabila istri berkewajiban mematuhi suaminya dalam melampiaskan syahwat, maka lebih wajib lagi baginya untuk mentaati suami dalam urusan yang lebih penting dari pada itu, yaitu yang berkaitan dengan pendidikan anak dan kebaikan keluarganya, serta hak-hak dan kewajiban lainnya*.

Al-Hafizh Ibnu Hajar رَحِمَهُ اللَّه mengatakan: “Pada hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak suami lebih utama dari pada amalan sunnah, karena ia merupakan kewajiban bagi istri. Maka, melaksanakan kewajiban harus didahulukan dari pada melaksanakan amalan sunnah.”
[Fat-hul Bari IX/296]

Agama Islam hanya membatasi ketaatan kepada Allah dalam hal-hal ma’ruf yang sesuai dengan Al-Qur-an maupun As-Sunnah sebagaimana dipahami generasi terbaik, yaitu Salafush Shalih.

*Atas dasar itu, setiap perintah suami yang bertentangan dengan hal tersebut, tidak ada kewajiban bagi istri untuk memenuhinya, bahkan dia berkewajiban untuk memberikan nasihat kepada suaminya itu dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang*.

*Ketaatan istri kepada suaminya dalam kondisi demikian tidak bersifat mutlak, tetapi disyaratkan untuk taat selama perintah tersebut berada dalam koridor ketaatan dan tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah*.

Jadi, apabila suami menyuruh istri berbuat kemaksiatan seperti melepaskan jilbab, meninggalkan shalat, menggaulinya pada saat haidh atau pada duburnya, maka si istri tidak boleh mematuhinya.

Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ bersabda:

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ.

“Tidak boleh taat (kepada seseorang) dalam bermaksiat kepada Allah; ketaatan itu hanya ada pada perkara yang makruf.”
[Hadits shahih: HR. Bukhari No. 4340, 7257, Muslim No. 1840 dan lainnya. Dari Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ].

Dari penjelasan di atas, maka dapat kami jawab pertanyaan Ummu Abdillah hafizhakillah sebagai berikut:

1. Yang pertama, berdosa jika ajakan suami tersebut kenyataannya penuh dengan kemashlahatan (kebaikan) bersama di dalam mewujudkan keharmonisan rumah tangga.

Yang kedua, tidak berdosa dan bahkan berpahala jika ajakan suami tersebut kenyataannya penuh dengan mudharat (keburukan). Dan semuanya bisa dibicarakan secara baik-baik dan dari hati ke hati dengan suami, sehingga bisa diambil keputusan yang lebih mashlahat.

2. Saran kami agar nafkah bathin tersebut terpenuhi dengan baik, seperti ini:

*Pertama*, ikut bersama tinggal bersama suami di Sumatera.

*Kedua*, bicarakan baik-baik kepada suami agar mau tinggal di Jawa bersama Ummu Abdillah membawa orang tuanya untuk tinggal bersama (ini untuk menjawab yang tadi katanya suami tidak mau jauh dari orang tua). Adapun alasan tidak cocok dengan mertua, kami jawab bisa diatur tinggalnya tidak terlalu dekat dengan mertua dan tentunya suami harus bertekad kuat dan dengan niat yang baik untuk memperbaiki hubungannya dengan mertua yang sebenarnya dari banyak sisi kedudukan mertua sama saja dengan kedudukan orangtua kandung.

Terakhir Ummu Abdillah dan orang-orang terdekat suaminya agar senantiasa memberikan nasihat yang baik kepada suaminya tersebut.

Wallahu a’lam.

Demikian semoga bermanfaat.

*[Referensi: Panduan Keluarga Sakinah, al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam Asy-syafi’i, tahun 2018, Jakarta].*

والله تعالى أعلم

22 Agustus 2021.

Dijawab oleh : Ustadz Abu Uwais
Muhammad Yasin bin
Sutan Muslim bin
Amir bin Syamsuddin.
Diperiksa oleh : Ustadz Yudi
Kurnia, Lc.

═══════ ° ೋ• ═══════

*Official Account Grup Islam Sunnah (GiS)⁣⁣*

View Source


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *