Doa ketika Jimak (Hubungan Badan)

Doa ketika Jimak (Hubungan Badan)

Teks Hadis

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَمَا لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ يَقُولُ حِينَ يَأْتِي أَهْلَهُ: بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، ثُمَّ قُدِّرَ بَيْنَهُمَا فِي ذَلِكَ، أَوْ قُضِيَ وَلَدٌ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

“Sekiranya saat mereka mendatangi istrinya membaca, ‘BISMILLAHI ALLAHUMMA JANNIBNISY SYAITHAANA WA JANNIBISY SYAITHAANA MA RAZAQTANAA’  (Artinya: Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah setan dari kami, dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau karuniakan kepada kami); lalu mereka pun ditakdirkan mendapat keturunan dari hasil hubungan badan itu, atau mereka dikaruniai anak, maka ia tidak akan diganggu oleh setan selama-lamanya.” (HR. Bukhari no. 5165 dan Muslim no. 1434)

Kandungan Hadis

Kandungan pertama

Hadis ini menunjukkan dianjurkannya tasmiyah (menyebut nama Allah) dan berdoa dengan lafal yang disebutkan dalam hadis ketika akan berhubungan badan. Hendaknya setiap muslim memiliki perhatian terhadap doa tersebut dan menjadi kebiasaannya, dalam rangka mengamalkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Juga karena keinginan agar anak keturunannya terjaga dari gangguan setan dan agar mereka istikamah di jalan kebenaran karena keberkahan doa ini.

Kandungan kedua

Para ulama berbeda pendapat tentang dharar (bahaya atau gangguan) apakah yang dinafikan dalam perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

“ … maka ia tidak akan diganggu oleh setan selama-lamanya.”

Lafal hadis ini bersifat umum untuk bahaya (mudarat) yang berkaitan dengan agama dan badan. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah bahwa tidak ada satu pun ulama yang memaknai dengan cakupan umum tersebut (Ikmaalul Mu’lim, 4: 610). Alasan para ulama berpendapat demikian adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ بَنِي آدَمَ يَطْعُنُ الشَّيْطَانُ فِي جَنْبَيْهِ بِإِصْبَعِهِ حِينَ يُولَدُ، غَيْرَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ، ذَهَبَ يَطْعُنُ فَطَعَنَ فِي الحِجَابِ

“Setiap anak keturunan Adam ditusuk (untuk disesatkan) oleh setan dengan jari-jemarinya ketika lahir, kecuali ‘Isa bin Maryam. Setan datang, lalu menusuk dari balik hijab (pakaian yang dikenakan bayi).” (HR. Bukhari no. 3286)

Dalam hadis tersebut, terdapat keterangan bahwa setiap anak Adam yang dilahirkan ke dunia akan ditusuk dengan jari-jemari setan ketika dilahirkan, kecuali yang mendapatkan pengecualian. Hal ini merupakan salah satu bentuk dharar dari setan.

Di antara ulama ada yang mengkhususkan dharar tersebut hanya yang berkaitan dengan badan atau akal saja, bukan dharar yang berkaitan dengan agama. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id. Alasannya, meskipun pengkhususan tersebut bertentangan dengan hukum asal (karena pada asalnya lafal tersebut dimaknai sesuai cakupan maknanya yang bersifat umum), akan tetapi jika tetap dimaknai sesuai dengan cakupan makna umumnya, maka konsekuensinya adalah anak yang dilahirkan tersebut akan terjaga dari seluruh perbuatan maksiat, dan hal itu tidaklah menjadi kenyataan. Sedangkan apa yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sesuatu yang pasti terjadi. Oleh karena itu, para ulama memaknai lafal tersebut dengan makna yang lebih khusus (lebih sempit), yaitu setan tidak menusuk anak tersebut ketika dilahirkan, sebagaimana yang setan lakukan kepada anak bani Adam ketika dilahirkan.

Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah setan tidak mampu menguasai (mengontrol) anak tersebut sampai bisa mengeluarkannya dari agama Islam. Bisa jadi setan menggodanya, namun dengan segera dia sadar untuk kembali ke jalan hidayah (petunjuk). Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَواْ إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raf: 201)

Syekh Ibnu Baaz rahimahullah lebih condong kepada pemaknaan ini.

Ada juga yang berpendapat bahwa syariat itu menjadikan sebab dan penghalang (mawani’) untuk segala sesuatu. Jika sebab ada dan tidak ada penghalang, maka perkara tersebut akan terjadi. Jika sebab tidak ada, atau sebab ada, namun ada penghalang, maka perkara tersebut tidak akan terjadi. Pada hadis ini, suami istri tersebut telah melakukan sebab, yaitu menyebut nama Allah dan berdoa ketika jimak, akan tetapi bisa jadi ada penghalang sehingga sebab tersebut tidak berpengaruh atau pengaruhnya melemah, sehingga perkara yang diinginkan pun tidak terjadi. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekh Abdullah Alu Bassam. (Lihat Taisirul ‘Allam, 3: 43)

Kandungan ketiga

Hadis tersebut menunjukkan bahwa setan senantiasa menyertai bani Adam dalam setiap kondisinya. Setan senantiasa mengikuti amal perbuatannya, sampai dia bisa mendapatkan kesempatan untuk menyesatkannya semaksimal mungkin yang dia bisa. Setan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah, sebagaimana terdapat hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, orang yang mendapatkan taufik adalah mereka yang tidak memberikan kesempatan bagi setan sedikit pun. Hal itu dengan senantiasa mengingat Allah dan juga senantiasa memohon perlindungan kepada-Nya dari keburukan setan.

***

@20 Zulkaidah 1445/ 29 Mei 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 347-349).

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *