Bulan Zulhijah
Sebagai manusia, selain diperintahkan beriman, kita juga diperintahkan untuk melakukan amalan-amalan yang disyariatkan. Ini adalah salah satu bentuk konsekuensi dari dua kalimat syahadat yang diucapkan seorang muslim. Namun, bersamaan dengan itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan hamba-Nya beramal begitu saja dengan amalan yang itu-itu saja, dengan porsi yang segitu-segitu saja, sehingga terkesan monoton. Salah satu bentuk kebaikan Allah adalah dengan adanya bonus-bonus yang diberikan oleh-Nya kepada hamba-Nya yang beriman.
Bonus-bonus itu adalah pemberian spesial berupa keutamaan-keutamaan dengan berbagai bentuknya, juga event-event pelipatgandaan amal saleh. Di antara event itu adalah 10 hari pertama bulan Zulhijah, salah satu dari empat bulan haram yang disebutkan oleh Allah di dalam Surah At-Taubah ayat 36.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
ما من أيّام العمل الصالح فيهن أحبّ إلى الله من هذه الأيّام العشر
قالوا: يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله؟
فقال رسول الله ﷺ: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع بذلك من شيء
“Tidak ada satu hari pun yang amalan pada hari itu lebih dicintai oleh Allah dibanding 10 hari ini (awal Zulhijah).”
Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, bahkan jika dibandingkan dengan jihad fii sabilillah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, “Bahkan, jika dibandingkan dengan jihad fii sabilillah sekalipun, kecuali seseorang yang ia keluar (berjihad) dengan segenap jiwa dan hartanya kemudian tidak kembali sama sekali (mati syahid).” (HR. Bukhari no. 969, Tirmidzi no. 757, Abu Dawud no. 2437, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 3228)
Hari-hari yang amalan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dibandingkan berjihad (tidak sampai mati syahid), bukankah ini sudah cukup untuk menjelaskan betapa mulianya hari-hari itu, 10 hari pertama bulan Zulhijah?
Hukum berkurban
Tentu dengan keutamaan dan kemuliaan sebesar itu, pastinya ada amalan-amalan tertentu yang disyariatkan untuk dikerjakan di hari-hari tersebut, beragam jenisnya, ada yang sunah, sunah muakkadah, bahkan wajib. Salah satu amalan yang disyariatkan untuk dikerjakan adalah berkurban pada hari ke-10 bulan Zulhijah, satu dari dua hari raya umat Islam, Iduladha.
Ada beberapa ulama yang berselisih pendapat tentang hukum berkurban. Namun, yang sahih adalah bahwa hukum berkurban adalah sunah muakkadah (sunah yang ditekankan) bagi yang mampu melakukannya. Inilah pendapat mayoritas ahli.
Allah Ta’ala berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ
“Maka, salatlah karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Memang pada dasarnya, jika syariat datang dalam bentuk kata perintah, hal tersebut menandakan hukumnya sebagai wajib. Namun, mari kita cermati hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut yang berbunyi,
من أراد أن يضحّي فلا يَقْلِمْ من أظفاره ولا يَحلِقْ شيئاً من شعره في عشر الأول من ذي الحجة
“Barangsiapa yang hendak berkurban, maka janganlah ia memotong kuku dan rambutnya selama 10 hari pertama bulan Zulhijah.” (HR. An-Nasa’i no. 4362)
Pada hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengaitkan ibadah kurban dengan kehendak atau kemauan. Adapun amalan wajib, maka tidak akan berkaitan dengan kehendak (seorang muslim harus melakukannya, tidak ada pilihan untuk tidak melakukannya).
Filosofi pensyariatannya
Sejarah kurban sudah menjadi pengetahuan umum bagi seluruh umat Islam, di mana kurban adalah amalan yang dilakukan Bapaknya para Nabi, Ibrahim ‘alaihis salam. Sementara itu, Allah memerintahkan kita untuk mengikuti Nabi Ibrahim,
فَٱتَّبِعُوا۟ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًۭا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Maka, ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia tidaklah termasuk orang musyrik.” (QS. Ali-Imran: 95)
ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ ٱتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًۭا
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim yang lurus.’” (QS. An-Nahl: 123)[1]
Kurban sebagai ibadah, tentunya adalah bentuk pendekatan diri hamba kepada Rabbnya dengan penyembelihan yang diperuntukkan untuk-Nya. Selain itu, kurban juga sebagai sarana penyejahteraan orang-orang fakir, di mana adanya pembagian hasil hewan kurban. Ibadah kurban juga sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di mana selama 10 tahun tinggal di Madinah, beliau selalu berkurban di tiap tahunnya.
Baca juga: Hukum Memberi Hadiah Daging Kurban kepada Tukang Jagal
Pertanyaan-pertanyaan
Mana yang lebih afdal antara berkurban dengan bersedekah seharga hewan kurban atau dengan melakukan penyembelihan hewan kurban?
Tentu saja yang lebih afdal (utama) adalah berkurban dengan menyembelih hewan kurban, karena beberapa alasan berikut:
Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat, juga generasi setelahnya menunaikan ibadah kurban dengan melakukan penyembelihan hewan kurban, dan seperti itulah yang dicontohkan para terdahulu. Jikalau bersedekah senilai hewan kurban lebih afdal, maka tentu hal itulah yang akan mereka contohkan;
Kedua: Mengedepankan bersedekah dengan yang senilai ketimbang melakukan penyembelihan sama saja dengan meninggalkan sunah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;
Ketiga: Selain itu, berkurban dengan melakukan penyembelihan juga adalah maksud dari pensyariatan kurban itu sendiri, jadi seharusnya tidak dapat digantikan.
Berkenaan dengan hal ini, Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan dengan berdalil dengan,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ
“Maka, salatlah karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku (kurban), hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’”
Allah dalam firman-Nya seringkali menyandingkan salat dengan kurban. Oleh sebab itu, masing-masing ibadah baik salat ataupun kurban tidak dapat digantikan dengan apa pun. Bahkan, bilamana seseorang bersedekah untuk menggantikan penyembelihan kurban, walaupun dengan berkali lipat nilai atau harga hewan kurban, tetap tidak dapat menggantikan ibadah kurban dengan penyembelihan itu sendiri.
Mana yang lebih afdal antara kurban sapi/unta patungan atau kurban kambing sendirian?
Meski sapi atau unta terkesan lebih mahal dan lebih eksklusif untuk kurban, ternyata kurban kambing sendirian lebih afdal. Di antara sebabnya adalah:
Pertama: Ibadah kurban dilakukan dengan mengalirkan darah (menyembelih) hewan kurban, dan orang yang berkurban kambing sendirian mendapatkan keutamaan ini secara utuh;
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan 2 ekor kabsy (kambing gibas).
Diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ضحّى النبي ﷺ بكبشين أَمْلَحَيْن أَقْرَنَيْن
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan dua kabsy putih yang bertanduk…” (Muttafaqun ‘Alaihi)[2]
Maka, cukuplah hal ini jelas menunjukan bahwa berkurban dengan kambing sendirian lebih afdal ketimbang patungan sapi, karena tidaklah Nabi melakukan sesuatu, kecuali hal tersebutlah yang afdal.
Hewan apa saja yang bisa dikurbankan?
Hewan yang bisa dikurbankan hanyalah hewan yang termasuk ke dalam jenis بهيمة الأنعم (bahimatul an’am). Adapun yang dimaksud dengan bahimatul an’am adalah hewan ternak berkaki empat yang tidak buas[3], dan secara khusus dalam pembahasan kurban adalah unta, sapi, dan kambing.
Dalil yang mensyaratkan kurban hanya dengan bahiimatul an’am adalah firman Allah Ta’ala,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍۢ جَعَلْنَا مَنسَكًۭا لِّيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَـٰمِ ۗ
“Dan bagi setiap umat, telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.”
Jadi, tidaklah sah berkurban dengan selain unta, sapi, atau kambing, seperti ayam, atau mungkin ikan.
Hewan apa yang paling utama untuk dikurbankan?
Mayoritas ahli berpendapat bahwa urutan hewan yang diutamakan untuk kurban adalah: unta, lalu sapi, lalu domba, kemudian kambing. Unta dan sapi lebih utama tentu saja karena dagingnya yang paling banyak, sehingga lebih banyak kebermanfaatannya, juga harganya yang lebih mahal. Adapun kambing, maka yang paling utama adalah kabsy sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan itu, dan dagingnya adalah daging yang terbaik.
Tentu saja dalam hal ini adalah berkurban secara sendirian (tidak patungan).
Dalil yang mengurutkan keutamaan hewan-hewan tersebut adalah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang salat Jumat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح فكأنما قرّب بدنة, ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرّب بقرة, ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرّب كبشا أقرن, ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرّب دجاجة ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرّب بيضة
“Barangsiapa yang mandi janabah (mandi besar) pada hari Jumat, kemudian ia berangkat di waktu paling awal, maka seakan ia berkurban dengan unta. Dan barangsiapa berangkat di waktu kedua (setelahnya), maka seakan ia berkurban sapi. Dan barangsiapa yang berangkat di waktu ketiga, maka ia seakan berkurban kambing bertanduk. Dan barangsiapa yang berangkat di waktu keempat, maka ia seakan berkurban ayam. Dan barangsiapa berangkat di waktu kelima, maka seakan ia berkurban telur…” (Muttafaqun ‘Alaihi)[4]
Apakah boleh berkurban dengan hewan betina?
Tidak mengapa berkurban dengan hewan yang betina, akan tetapi berkurban dengan hewan jantan tetaplah lebih utama, dikarenakan:
Pertama: Biasanya hewan jantan lebih bernilai dan lebih mahal harganya dibandingkan dengan hewan betina;
Kedua: Sebagaimana telah disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan kabsy di mana betinanya disebut dengan na’jah. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya, kecuali karena memang hal tersebut adalah yang lebih utama.[5]
Demikianlah beberapa pertanyaan seputar hewan kurban. Semoga sedikit-banyaknya dapat menjawab keraguan atau kebingungan pembaca sekalian. Wallahu Ta’ala A’lam bisshawab.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang dapat memanfaatkan momen-momen terbaik yang telah Allah berikan dengan berbagai ibadah yang diridai-Nya. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.
Baca juga: Hewan Kurban Haram karena Dikuliti Sebelum Mati Total?
***
Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] [note: pembahasan ini secara lebih lanjut ada dalam pembahasan syar’u man qablana (Syariat Sebelum Kami; Umat Muhammad) dalam Ushul Fikih sebagai dalil al-mukhtalaf fiha (dalil yang diperselisihkan di kalangan ahli fikih).]
[2] HR. Bukhari no. 1712 dan 5558; dan Muslim no. 1966.
[3] Mu’jam Al-Wasith.
[4] HR. Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850.
[5] Mukhtashar Ahkamil Udhhiyah wa ‘Asyri Dzil Hijjah, karya Syekh Khalid Mahmoud Al-Juhani hafizhahullahu Ta’ala
Leave a Reply