Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 1)

Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 1)

Teks Hadis

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ ، قَالَ: لَا، قَالَ: فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا

“Saya pernah berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau seraya mengabarkan bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita dari kaum Anshar.” Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Apakah kamu telah melihatnya?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau melanjutkan, “Pergi dan lihatlah kepadanya, sesungguhnya di mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” (HR. Muslim no. 1424)

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ ، قَالَ: فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

“Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongannya untuk menikahinya, hendaknya ia melakukannya.” Jabir berkata, “Kemudian aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya, hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku pun menikahinya.” (HR. Ahmad 22: 440, Abu Dawud no. 2082, dan Al-Hakim 2: 165. Dinilai hasan oleh Al-Albani.)

Dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau meminang seorang wanita. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Lihatlah dia! Karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua.” (HR. Tirmidzi no. 1087, An-Nasa’i 6: 69-70, Ibnu Majah no. 1865, 1866, dan Ahmad 30: 66. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan.”)

Kandungan Hadis

Kandungan pertama: disyariatkannya nazhor

Hadis ini merupakan dalil disyariatkannya seorang laki-laki menazhor seorang wanita yang hendak dinikahinya. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Bahkan sebagian ulama mengklaim adanya ijmak dalam masalah ini, seolah-olah mereka tidak mempedulikan pendapat ulama yang menyelisihi, karena sangat lemahnya pendapat tersebut. Karena hadis-hadis ini dalam masalah ini sangat jelas dan banyak. Demikian pula, perawi hadis ini, yaitu sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, telah mengamalkan hadis ini.

Diriwayatkan dari Imam Malik dan juga ulama lainnya, bahwa beliau berpendapat tidak bolehnya nazhor. Ini adalah riwayat yang lemah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahumullah. Terdapat riwayat lain bahwa Imam Malik rahimahullah membolehkannya, dan pendapat inilah yang terdapat dalam kitab-kitab fikih ma  zhab Malikiyah. (Al-Kaafi, 2: 519)

Pernikahan adalah akad yang berkonsekuensi kepemilikan (at-tamlik). Dengan adanya syariat nazhor, akan menyebabkan langgengnya pernikahan. Inilah hikmah yang disebutkan dalam hadis Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu,

فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua.”

Maksudnya, di antara kalian berdua akan muncul rasa saling cinta.

Pada umumnya, jika sebelum menikah melakukan nazhor, maka tidak akan muncul rasa penyesalan. Karena pernikahan yang didahului dengan nazhor akan lebih menimbulkan cinta dan kasih sayang. Terdapat beberapa faidah dari nazhor, di antaranya:

Pertama, mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua, langgengnya kasih sayang antara suami dan istri.

Ketiga, masing-masing pihak akan terhindar dari aib yang mungkin tidak disukai dari calon pasangannya (jika aib tersebut tidak diketahui sebelum menikah).

Keempat, adanya pernikahan yang dibangun di atas dasar pengetahuan yang baik terhadap calon pasangan, sehingga tidak mencela pasangannya tersebut di kemudian hari.

Baca juga: Agungnya Sebuah Ikatan Pernikahan

Kandungan kedua: hukum nazhor

Perintah dalam perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَلْيَفْعَلْ

“ … hendaknya ia melakukannya”; dimaknai sebagai perintah yang menunjukkan hukum mubah oleh jumhur ulama, bukan perintah yang menunjukkan hukum wajib. Hal ini karena hukum asalnya, melihat (aurat) wanita itu haram. Dan dalam kaidah ilmu ushul fikih, adanya perintah setelah sebelumnya terdapat larangan, maka perintah tersebut menunjukkan hukum mubah. Sedangkan An-Nawawi rahimahullah memaknai sebagai perintah yang menunjukkan hukum anjuran (sunah). Hal ini karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua.”

An-Nawawi rahimahullah juga menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur ulama (Lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 221). Demikian pula yang menjadi pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum nazhor itu sunah, adalah pendapat yang menurutku kuat, karena di situ terdapat kata perintah. Adanya perintah menunjukkan bahwa minimal hukumnya sunah, apalagi dalam nazhor tersebut terdapat maslahat yang besar.” (Minhatul ‘Allam, 7: 201)

Kandungan ketiga: anggota badan yang boleh dinazhor

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang bolehnya menazhor wajah. Yang menjadi perbedaan pendapat di tengah-tengah mereka adalah apabila menazhor lebih dari itu. Sebab perbedaan pendapat ini adalah tidak adanya dalil spesifik yang menjelaskan bagian mana saja yang boleh dinazhor. Dalil-dalil yang ada menyebutkan bahwa tujuan nazhor adalah melihat, sehingga seseorang menjadi merasa semakin mantap ketika mengetahui sifat-sifat perempuan yang hendak dinikahi. Dia pun membulatkan tekad untuk melanjutkan ke akad nikah.

Pendapat yang terpilih dalam masalah ini adalah seorang laki-laki boleh menazhor kepada sesuatu yang menyebabkan dia tertarik untuk menikahi seorang wanita, semisal wajah, dua telapak tangan, dan juga bagian-bagian tubuh lainnya yang biasa ditampakkan, semisal leher, telapak kaki, atau lengan bagian bawah (hasta). Hal ini karena nazhor tersebut diperbolehkan karena adanya hajat (kebutuhan), sehingga dicukupkan untuk bagian-bagian tersebut.

Sebagaimana telah dipraktekkan oleh perawi hadis, yaitu sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا

“ … hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya … ”

Alasan lainnya adalah karena melihat anggota tubuh yang biasa ditampakkan tersebut (leher, telapak kaki, atau lengan bagian bawah) juga diperbolehkan bagi mahram seorang wanita selain suaminya. Nazhor tersebut juga bukan melihat karena ingin menikmati apa yang dilihat, karena sekali lagi, dilakukan berdasarkan adanya hajat (kebutuhan).

Kandungan keempat: meninggalkan nazhor bukanlah sikap wara’ (hati-hati)

Meskipun terdapat hadis-hadis sahih yang menjelaskan bahwa nazhor adalah perkara yang disyariatkan, juga karena adanya maslahat syar’i yang agung dari nazhor, namun kita jumpai sebagian orang yang mengabaikan hukum syariat ini. Mereka tidak memperbolehkan (melarang) nazhor dengan alasan sebagai bentuk sikap wara’ (kehati-hatian). Sikap ini bukanlah wara’, karena tidak ada wara’ ketika jelas-jelas menyelisihi hukum syariat.

Kebalikan dari sikap ini adalah mereka yang berlebih-lebihan dengan bermudah-mudah dan menyepelekan aturan syariat dalam proses nazhor. Mereka tidak mempedulikan kehormatan anak-anak perempuan mereka. Mereka memperbolehkan anak-anak perempuan mereka melakukan ikhthilath (campur baur) dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini termasuk bid’ah dalam agama yang bisa mendatangkan musibah dan kebinasaan, karena menabrak aturan syariat terkait masalah khulwah (berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahram).

Lanjut ke bagian 2: [Bersambung]

Baca juga: Apakah Menikah Itu Wajib?

***

@23 Zulkaidah 1445/ 1 Juni 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 197-204).

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *