Kehidupan rumah tangga memang tidak terlepas dari konflik, yang bisa jadi semakin membesar dan semakin sulit diurai. Suasana menjadi dingin, komunikasi semakin sulit, hingga kondisi tersebut menjadi di ujung tanduk, dan mulai berpikir ke arah perceraian. Lalu, bagaimana menyikapi hal ini?
Tobat dan istigfar kepada Allah
Jangan buru-buru membahas dan memikirkan perceraian, namun masing-masing pihak (suami dan istri), hendaknya introspeksi diri, sudahkah istigfar dan tobat kepada Allah Ta’ala? Karena kalau berlum beristigfar dan bertobat, masalah seringan apapun tidak akan hilang. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ
“Dan apa saja bencana (musibah) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 79)
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)
Suami hendaknya istigfar dan tobat, demikian pula istri hendaknya istigfar dan tobat. Inilah konsep dan kunci untuk menyelesaikan konflik rumah tangga. Masalah rumah tangga menjadi runcing karena suami menyalahkan istri, dan istri menyalahkan suami. Separah dan sefatal apapun masalah, kalau masing-masing pihak menyadari dan mengakui kesalahannya, insya Allah masalah tersebut akan terurai.
Setiap manusia pasti memiliki kesalahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap anak Adam pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad 3: 198. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 4391)
Selama kita masih manusia, pasti berbuat kesalahan, sehingga tidak perlu menganggap dirinya tidak memiliki andil kesalahan dalam konflik rumah tangga tersebut. Kalau dua-duanya saling menyadari porsi kesalahan masing-masing dan meminta maaf, insya Allah masalah tersebut bisa diselesaikan. Namun, sifat menyalahkan diri sendiri adalah sifat yang mahal dan sulit. Karena setiap kita memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain terlebih dahulu.
Hanya orang-orang pilihan yang memiliki mental menyalahkan diri sendiri. Renungkanlah kisa Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika dimakan ikan paus. Beliau tidak menyalahkan umatnya yang durhaka dan kufur, namun beliau menyalahkan dirinya sendiri,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)
Jangan mendiskusikan perceraian, kecuali setelah bertakwa dan berjuang sekuat tenaga
Nasihat kedua, hendaknya suami istri tidak mendiskusikan atau berbicara tentang perceraian, kecuali setelah mereka berjuang dan berusaha maksimal mempertahankan rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
Berusahalah bertakwa kepada Allah dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga semampu dan semaksimal yang bisa kita lakukan. Karena taufik akan Allah berikan setelah kita berusaha untuk bertakwa,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Setelah kita berusaha bertakwa semaksimal mungkin, barulah Allah memberikan solusi atau jalan keluar atas berbagai permasalahan yang kita hadapi. Yang menjadi masalah, orang-orang yang bercerai bisa jadi belum berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin. Setelah berusaha bertakwa semampu dan semaksimal mungkin, barulah berbicara tentang perceraian. Maka hendaknya masing-masing suami dan istri merenung, apakah dalam hari-hari konflik ini kita sudah memperbanyak salat malam? Memperbanyak zikir kepada Allah, memperbanyak menangis di hadapan Allah, atau memperbanyak sedekah? Sudahkah memperbanyak istigfar dan tobat kepada Allah?
Kalau dua hal ini (tobat dan istigfar, lalu berusaha bertakwa) tidak dilakukan dan berujung perceraian, maka bisa jadi masalah dan konflik tersebut akan berulang kembali ketika masing-masing mereka membangun rumah tangga yang baru. Demikianlah lingkaran setan nikah-cerai tersebut akan terus berulang karena akar masalahnya tidak diperbaiki.
Jujur kepada Allah
Inti menyelesaikan konflik rumah tangga bukan dari sisi fikih, tetapi dari sisi iman dan hati. Allah Ta’ala berfirman ketika rumah tangga sudah deadlock,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (antara suami dan istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud ishlah (mengadakan perbaikan), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’: 35)
Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ketika konflik suami-istri sudah deadlock, maka masing-masing pihak mengirimkan hakam (wakil) untuk bermusyawarah. Kalau kedua hakam yang mewakili pihak suami dan istri itu ingin dan punya niat baik untuk melakukan ishlah (perbaikan), maka Allah akan berikan taufik untuk mereka berdua sehingga bisa ishlah. Sehingga kuncinya adalah, apakah masing-masing pihak (suami dan istri) memiliki niat dan keinginan untuk melakukan perbaikan? Atau hanya ingin memperturutkan ego masing-masing? Niat dan keinginan itu letaknya di hati. Jujurlah kepada Allah. Namun sekali lagi, masalahnya adalah masing-masing pihak bisa jadi tidak memiliki niat baik untuk melakukan perbaikan. Adanya niat baik ini tentu berawal dari hati yang berusaha mentauhidkan Allah dan bertakwa kepada-Nya.
Semoga nasihat ini bermanfaat untuk kita semuanya.
***
@27 Dzulhijjah 1445/ 4 Juli 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari penjelasan Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri di tautan ini:
Leave a Reply