Fi’il mudhari’ تَقُوْمُوْنَ adalah fi’il marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan wawu jama’ah (yang menunjukkan orang ketiga laki-laki banyak). Apabila bersambung dengan nun taukid, contohnya adalah هَلْ تَقُوْمُنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟.
Nun taukid yang bersambung dengan fi’il mudhari’ tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Pemisah fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan). Pemisahnya adalah wawu jama’ah. Pada asalnya, kata تَقُوْمُنَّ tersebut adalah تَقُوْمُوْنَنَّ. Akan tetapi, huruf nun rafa’ atau huruf nun yang pertama dihapus dikarenakan ada huruf nun yang berturut-turut, yaitu huruf nun rafa’ setelah itu ada huruf nun taukid. Sehingga menjadi تَقُوْمُوْنَّ. Dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun, yaitu wawu jama’ah dan huruf pertama nun taukid yang di-tasydid, maka huruf wawu jama’ah tersebut dihapus untuk meringankan bacaan dikarenakan bertemunya dua huruf yang sukun tersebut. Dihapusnya huruf wawu jama’ah tersebut sudah diwakili oleh harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu jama’ah yang mana harakat dhammah tersebut menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus. Sehingga menjadi تَقُوْمُنَّ. Maka, kata تَقُوْمُنَّ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) yang muqaddar (abstrak). Adapun wawu jama’ah yang muqaddar (abstrak) karena dihapus tersebut berkedudukan di tempatnya marfu’ sebagai fa’il.
Contoh dari firman Allah adalah
لَتُبْلَوُنَّ فِيْٓ اَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْۗ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا اَذًى كَثِيْرً
“Kamu pasti akan diuji dalam (urusan) hartamu dan dirimu. Kamu pun pasti akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik.” (QS. Ali-Imran: 186)
Kata لَتُبْلَوُنَّ dan لَتَسْمَعُنَّ marfu’ dengan tanda nun al-mahzufah (nun yang dihapus). Karena nun taukid tersebut tidak bersambung langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’-nya. Yaitu, huruf wawu jama’ah menjadi pemisah antara fi’il mudhari’ dan nun taukid tersebut. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mabni. Asal kata fi’il mudhari’ تُبْلَوُنَّ adalah تُبْلَوُوْنَنَّ. Huruf wawu berharakat dhammah dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga huruf wawu diganti menjadi alif dikarenakan menyesuaikan harakat sebelumnya. Kemudian, huruf alif sukun tersebut dihapus dikarenakan bertemu huruf wawu jama’ah yang sukun juga. Sehingga menjadi تُبْلَوْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’-nya dihapus. Sehingga bertemu dua huruf yang sukun, yaitu huruf wawu jama’ah dan nun yang pertama dari nun taukid al-musyaddadah. Kemudian huruf wawu jama’ah diberi harakat dhammah supaya terbebas dari bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah tersebut tidak bisa dihapus sebagaimana contoh sebelumnya, huruf wawu jama’ah bisa dihapus. Huruf wawu jama’ah pada contoh kata لَتُبْلَوُنَّ tidak bisa dihapus dikarenakan tidak ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada wawu jama’ah ketika huruf wawu jama’ah tersebut dihapus. Oleh karena itu, huruf wawu jama’ah tidak bisa dihapus dan huruf nun taukid pada contoh tersebut juga tidak dihapus dikarenakan huruf nun taukid tersebut ada tujuan untuk menegaskan perbuatan dari fi’il mudhari’ tersebut.
Adapun contoh dari kata لَتَسْمَعُنَّ, maka huruf wawu jama’ah-nya dihapus karena bertemunya dua huruf yang sukun. Huruf wawu jama’ah pada contoh tersebut bisa dihapus dikarenakan ada indikator yang menunjukkan bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus, yaitu berupa huruf sebelumnya berharakat dhammah. Contoh lainya yang serupa adalah
وَلاَ يَصُدُّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللِّه
“Janganlah sekali-kali mereka menghalang-halangi engkau untuk (menyampaikan) ayat-ayat Allah.” (QS. Al-Qasas: 87)
Kedua contoh fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab, bukan fi’il mudhari’ yang mabni. Alasannya adalah dikarenakan nun taukid yang terdapat pada kedua contoh tersebut bersambung secara langsung dengan huruf terakhir asli dari fi’il mudhari’ secara lafaz. Walaupun pada kedua contoh tersebut pada asalnya ada huruf wawu jam’aah yang abstrak (tidak dituliskan).
Oleh karena itu, telah jelas bahwasanya alif yang menunjukkan ganda yang terdapat pada fi’il mudhari’ harus konkrit (dituliskan), tidak boleh dihapus apabila bertemu dengan nun taukid. Adapun wawu jama’ah terbagi menjadi 2:
Pertama, wawu jama’ah-nya wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat dhammah huruf sebelumnya yang mana harakat dhammah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada wawu jama’ah, maka huruf wawu jama’ah tersebut wajib dituliskan.
Kedua, wawu jama’ah-nya abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf wawu jama’ah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat dhammah. Yang mana harakat dhammah yang terdapat pada sebelum huruf wawu yang yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf wawu jama’ah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf wawu jama’ah tersebut tetap ada.
Adapun contoh dari kata تَقُوْمِيْنَ adalah fi’il mudhari’ marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena termasuk amtsilatul khamsah (contoh-contoh fi’il mudhari’ yang lima). Apabila kata tersebut bersambung dengan nun taukid contohnya adalah هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟
Maka, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Di antara nun taukid dan fi’il mudhari’ tersebut terdapat pemisah muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan), yaitu berupa ya’ mukhathabah. Asal dari contoh tersebut adalahvهَلْ تَقُوْمِيْنَنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟
Akan tetapi, huruf nun rafa’ yang di awal pada garis bawah tersebut dihapus. Sehingga dibaca هَلْ تَقُوْمِيْنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟
Setelah huruf nun tersebut dihapus, bertemu dua huruf sukun berturut-turut, yaitu pada huruf ya’ mukhathabah dan nun taukid sukun yang asalnya pada huruf nun tersebut ada dua huruf nun yang digabung menjadi satu. Huruf nun pertamanya yang sukun. Sehingga huruf ya’ mukhathabah yang sukun tersebut dihapus. Bolehnya menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat ada huruf yang berharakat kasrah yang terletak persis sebelum huruf ya’ mukhathabah tersebut dalam rangka memudahkan membacanya. Sehingga contoh dari fi’il tersebut menjadi هَلْ تَقُوْمِنَّ بِوَاجِبِكُمْ ؟
Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddar (abstrak/tidak terlihat di tulisan) dikarenakan bertemunya dua huruf nun yang sukun. Adapun ya’ mukhathabah yang dihapus dalam rangka memudahkan bacaan dan berkedudukan sebagai fa’il.
Contoh dari firman Allah adalah
فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا
“Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih.’” (QS. Maryam : 26)
Kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’. Asal dari kata tersebut adalah تَرْأَيِيْنَنَّ. Harakat hamzah dipindah ke huruf ra’ setelah menghapus sukun pada huruf ra’. Sehingga menjadi تَرَأَيِيْنَنَّ. Kemudian huruf hamzah dihapus dalam rangka meringankan bacaan. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَنَّ. Setelah itu, nun tanda rafa’ pada fi’il tersebut dihapus dikarenakan ada alat pen-jazm sebelum kata tersebut. Yaitu, إِنْ الشرطية. Alat pen-jazm tersebut digabung menjadi satu dengan huruf ما الزائدة (huruf mim tambahan). Akan tetapi, huruf nun pada اِمَّا tersebut dihapus. Asalnya adalah اِنْ مَّا. Sehingga menjadi تَرَيِيْنَّ. Kemudian huruf ya’ yang pertama diganti dengan alif dikarenakan huruf ya’ tersebut berharakat dan huruf sebelumnya berharakat fathah. Sehingga menjadi تَرَايْنَّ. Pada kata تَرَايْنَّ bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut, yaitu pada huruf alif dan ya’ mukhathabah. Oleh karena itu, huruf alif dihapus. Sehingga menjadi تَرَيْنَّ. Pada kata tersebut masih bertemu dua huruf yang sukun berturut-turut. Yaitu, pada huruf ya’ mukhathabah dan huruf nun taukid. Oleh karena itu, harakat huruf ya’ diganti menjadi kasrah. Sehingga menjadi تَرَيِنَّ. Huruf ya’ mukhathabah di sana tidak boleh dihapus dikarenakan tidak ada huruf kasrah yang menjadi indikator yang menunjukkan adanya huruf ya’ jika dihapus. Maka, kata تَرَيِنَّ adalah fi’il mudhari’ majzum. Tanda majzum fi’il tersebut adalah hazf nun (menghapus huruf nun). Adapun ya’ mukhathabah di sana berkedudukan sebagai fa’il. Adapun huruf nun tersebut adalah huruf taukid.
Dari kondisi huruf ya’ mukhathabah dari kedua contoh fi’il mudhari’ تَقُوْمِنّ dan تَرَيِنّ tersebut terbagi menjadi 2:
Pertama, ya’ mukhathabah wajib konkrit (dituliskan), apabila tidak mungkin memberikan harakat kasrah pada huruf sebelumnya yang mana harakat kasrah tersebut sebagai indikator bahwasanya ada ya’ mukhathabah, maka huruf ya’ mukhathabah tersebut wajib dituliskan.
Kedua, ya’ mukhathabah abstrak (dihapus secara tulisan), jika memungkinkan menghapus huruf ya’ mukhathabah tersebut dengan syarat bisa memberikan harakat kasrah. Harakat kasrah yang terdapat pada sebelum huruf ya’ mukhathabah yang dihapus tersebut sebagai indikator bahwasanya ada huruf ya’ mukhathabah yang dihapus secara tulisan. Namun, secara makan huruf ya’ mukhathabah tersebut tetap ada.
Kondisi fi’il mudhari’ yang mu’rab ada 2, yaitu:
Pertama, fi’il mudhari’ tidak boleh bersambung dengan nun inats dan nun taukid. Contohnya adalah
الْعَاقِلُ يَسْمَعُ النَّصِيْحَةَ
“Orang yang berakal adalah orang yang mau mendengarkan nasehat”.
Fi’il mudhari’ yang bergaris bawah pada contoh di atas marfu’ karena tidak adanya alat pe-nashab dan pen-jazm dan marfu’ tanda dhammah.
Kedua, fi’il mudhari’ bersambung dengan nun taukid ghair mubasyirah atau tidak bersambung secara langsung dengan fi’il mudhari’-nya. Contohnya adalah
أَنْتُمْ لَا تَسْمَعُنَّ النَّصِيْحَةَ
“Kalian benar-benar tidak mendengarkan nasihat tersebut.”
Adapun penjelasan i’rab dari fi’il tersebut telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya.
***
Penulis: Rafi Nugraha
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply