Bersama kesulitan terdapat kemudahan
Di dalam kaidah fikih terdapat sebuah kaidah, yaitu,
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر
“Bersama kesulitan terdapat kemudahan.”
Kaidah ini adalah kaidah yang agung
Ini adalah sebuah kaidah yang sangat agung. Kaidah agama yang dibangun di atas cinta, kasih sayang, dan kemudahan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78)
Amalan ditinjau dari segi kemampuan
Allah tidak menjadikan agama ini sebagai sesuatu yang sulit dan sukar untuk hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, terkait dengan amalan di dalam agama ini setidaknya terdapat dua jenis, yaitu:
Pertama: Jenis amalan yang seorang hamba tidak mampu untuk mengerjakannya. Maka, dalam hal ini Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya untuk hal tersebut. Di antara contoh hal ini adalah Puasa Wishal. Yaitu, seorang hamba melanjutkan puasa tanpa berbuka. Hal ini dimakruhkan oleh banyak ulama, sebagian ulama lagi mengharamkannya. Di antara yang mengharamkannya adalah Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah [1]. Karena terdapat larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لا تُوَاصِلُوا . قَالُوا : إِنَّكَ تُوَاصِلُ . قَالَ : إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ ، إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian menyambung puasa kalian!’ Para sahabat berkata, ‘Sesungguhnya engkau menyambung puasa.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak sama seperti kalian. Aku bermalam, sedangkan Rabbku memberiku makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 7299 dan Muslim no. 1103)
Masih ada beberapa contoh lagi terkait dengan hal ini. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya melaksanakan salat tarawih secara berjemaah di awal-awal Ramadan. Kemudian, Nabi meninggalkan salat tarawih berjemaah karena khawatir akan diwajibkan dan akan menyulitkan umatnya.
Kedua: Jenis amalan yang seorang hamba mampu untuk mengerjakannya, dan terdapat hikmah ketika seorang hamba mengerjakannya. Maka, Allah perintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengerjakannya. Namun, bersamaan dengan perintah itu, jika terdapat kesulitan dan kesukaran, maka pasti akan ada keringanan dan kemudahan pada amalan tersebut. Bisa dengan digugurkan atau dengan diringankannya amalan itu. [2]
Dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini
Berikut ini dalil-dalil yang berkaitan dengan kaidah ini,
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.” (QS. Al-Baqarah: 185)
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ
“Allah tidak membebani kepada seseorang, melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya.” (QS. At-Talaq: 7)
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!” (QS. At-Taghabun: 16) [3]
Ayat-ayat di atas adalah dalil yang menujukkan akan kaidah yang agung ini.
Perlu diketahui, bahwa seluruh syariat agama ini begitu indah dan toleran. Agama ini dibangun di atas tauhid dan peribadatan kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Bersamaan dengan itu, agama ini penuh akan kemudahan di dalam hukum-hukum dan amalan-amalannya.
Rukun Islam sebagai pondasi yang penuh dengan kemudahan
Seperti halnya salat lima waktu yang diwajibkan sehari semalam. Bisa dikatakan salat lima waktu ini tidaklah mengambil waktu seorang hamba, kecuali sedikit saja.
Zakat, yang mana seorang hamba mengeluarkan hartanya untuk membersihkannya, pun juga tidak mengambil harta yang banyak. Zakat hanya diambil dari harta-harta orang kaya dan bukan dari keseluruhan hamba. Itu pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali.
Puasa, tatkala seorang hamba menahan diri dari makan, minum, dan juga syahwatnya. Itu pun hanya diwajibkan satu bulan saja pada setiap tahunnya.
Haji, tidaklah seorang hamba diwajibkan untuk berhaji, melainkan satu kali dalam seumur hidup. Lagi-lagi itu pun dengan syarat bagi yang mampu saja.
Lihatlah amalan-amalan yang merupakan pondasi dari Islam. Rukun Islam itu sendiri dibangun di atas kemudahan. Apatah lagi amalan-amalan yang sifatnya furu’ (cabang) dari rukun-rukun Islam ini. Seperti kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah yang lain. Bahkan, rukun Islam yang disebutkan di atas, keseluruhannya terdapat keringanan bagi mereka yang sulit dan tidak mampu untuk mengerjakannya.
Bentuk-bentuk kemudahan yang Allah Ta’ala berikan
Sungguh, Allah Ta’ala telah mensyariatkan banyak dari sebab-sebab yang memudahkan untuk mengamalkan ketaatan. Di antara bentuk kemudahan yang Allah berikan adalah:
Pertama: Allah mensyariatkan untuk berjemaah dalam melaksanakan salat lima waktu, salat Jumat, dan salat Id. Sama halnya dengan berpuasa, seluruh orang-orang beriman berpuasa pada satu bulan yang sama. Tidaklah di antara mereka tidak berpuasa, kecuali karena uzur, baik sakit, safar, dan lain sebagainya. Haji pun demikian, Allah mensyariatkan haji secara beramai-ramai atau berjemaah.
Karena tidak diragukan lagi bahwasanya berkumpul dalam melaksanakan suatu ibadah akan menghilangkan kesulitan dan akan membuat semangat orang-orang yang mengamalkannya. Bahkan, seringkali didapati mereka berlomba-lomba dalam kebaikan. Karena mereka tahu akan perbedaan pahala orang yang bersegera melaksanakan kebaikan dengan orang-orang yang lambat dalam melaksanakannya.
Kedua: Bersamaan dengan kemudahan yang Allah berikan dari syariat ini, jika seorang hamba mendapati sebuah uzur atau kesulitan dalam mengamalkan syariat ini, maka terdapat solusi terbaik yang diberikan. Di antaranya dengan diringankan amalan tersebut. Sebagaimana kaidah yang sedang dibahas, “Bersama kesulitan terdapat kemudahan.”
Contoh:
Dalam keadaan sakit, jika seorang hamba tidak bisa menggunakan air untuk berwudu, maka ia bisa bertayamum dengan debu. Jika dalam keadaan sakitnya ia tidak mampu berdiri, maka ia bisa melaksanakan salat dalam keadaan duduk. Jika dalam keadaan duduk ia tidak mampu, maka bisa berbaring. Jika masih tidak mampu, maka ia bisa berisyarat dengan kepalanya.
Orang yang safar, ia bisa meng-qashar dan menjamak salatnya. Ia pun bisa mengusap khuf baik ketika safar ataupun mukim. Siapa yang sakit atau safar, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana ia beramal dalam keadaan sehat dan mukim.
Dan masih banyak lagi kemudahan-kemudahan yang bisa didapati pada syariat ini. Namun, bukan berarti dengan kaidah ini seseorang menjadikan seluruh kewajiban dalam beragama adalah mudah. Tentu tidak diharapkan ketika seseorang mengetahui kaidah ini ia jadi terkesan “menggampangkan” syariat agama ini. Bahkan, ia bermudah-mudahan untuk mendapati uzur. Tentunya hal ini adalah sebuah kekeliruan dalam memahami kaidah ini.
Kesimpulan
Kaidah ini adalah kaidah yang sangat agung, dilandaskan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menunjukkan akan rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan memudahkan syariat ini untuk diamalkan dan dikerjakan sesuai dengan kemampuan. Jika tidak mampu, maka terdapat opsi berikutnya yang memudahkan. Tentunya hal ini bukan untuk menggampangkan agama ini. Namun perlu diketahui bahwa ini merupakan rahmat dari Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.
***
Depok, 5 Muharram 1445 H / 10 Juli 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7)
Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah.
Syarhul Mumti’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. (Jilid 6)
Catatan kaki:
[1] Syarhul Mumti’, 6: 438.
[2] Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal. 23.
[3] Al-Qawa’id wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 15.
Leave a Reply