Akal sehat merupakan bagian dari dalil syar’i yang valid digunakan sebagaimana wahyu juga demikian
Dalil yang bersumber dari akal sehat merupakan dalil rasional yang diakui oleh syariat. Disebut bahwa dalil tersebut rasional karena pendalilan tersebut dapat dinilai keabsahannya melalui logika. Disebut bahwa dalil tersebut diakui oleh syari’at karena wahyu (Al-Qur’an dan hadis) memberi validasi terhadap pendalilan tersebut.[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Dalil yang yang diakui oleh syar’iat itu dapat bersumber dari wahyu dan juga dari akal sehat. Dikatakan bahwa dalil tersebut diakui oleh syari’at karena wahyu mengafirmasi, membolehkan, dan mengizinkan pendalilan tersebut. Oleh karenanya, pendalilan dalam Al-Qur’an dan hadis yang dapat dicerna oleh akal disebut dengan dalil syar’i yang rasional (dalil syar’i ‘aqli). Contohnya seperti analogi yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan keesaan Allah, kebenaran para rasul-Nya, penetapan sifat-sifat Allah, dan juga keberadaan hari kebangkitan. Itu semua adalah dalil syar’i yang rasional (dapat divalidasi oleh akal).
Selain dalil syar’i ‘aqli, ada dalil syar’i lain yang hanya dapat diketahui melalui sistem periwayatan yang terpercaya. Dalil itu disebut sebagai dalil syar’i sam’i. Banyak ahli kalam (yaitu orang yang menjadikan akal semata sebagai landasan utama dalam membangun akidah) mengira bahwa status dalil syar’i hanya terbatas pada dalil syar’i sam’i. Mereka menyangka bahwa Al-Qur’an dan hadis hanya memuat dalil syar’i sam’i tanpa ‘aqli. Oleh karenanya, mereka membangun pondasi agama mereka dengan dua dikotomi: al-‘aqliyat (argumentasi rasional) dan as-sam’iyat (dalil wahyu yang didapatkan hanya melalui sistem periwayatan). Mereka menjadikan dalil rasional itu bukan berasal dari Al-Qur’an dan hadis. Ini kekeliruan mereka. Yang benar adalah Al-Qur’an juga menunjukkan dan menjelaskan dalil rasional.[2]
Terdapat dua poin penting dari penjelasan di atas:
Pertama: Akal merupakan jalan yang dapat mengantarkan kita untuk mengetahui permasalahan akidah secara global dan fundamental. Melalui akal, kita dapat mengetahui keberadaan Allah, perbuatan-perbuatan-Nya sebagai Tuhan yang memelihara kita, keberhakan-Nya untuk diibadahi secara eksklusif satu-satunya, sifat-sifat yang layak dan sempurna dari segala sisi bagi Allah, kebenaran hari kebangkitan dan pembalasan, dan seterusnya. Hanya saja ruang pengetahuan akidah yang dapat diakses oleh akal bersifat global saja, adapun detail-detailnya hanya dapat dicapai dengan memahami dalil wahyu.[3]
Kedua: Para rasul membimbing umatnya untuk menggunakan dalil akal. Mereka tidak menutup mata dari kemampuan akal dalam memahami beragam ilmu, bahkan mereka memperingatkan umatnya dengan dalil akal. Oleh karenanya, terbukalah mata orang-orang yang buta, telinga orang-orang yang tuli, serta hati orang-orang yang berpaling.[4] Ibnul Qayyim berkata, ”Allah menggabungkan dalil wahyu dan akal untuk menyadarkan para hamba-Nya. Tidaklah bisa jika salah satu dalil tersebut dipisahkan. Keberadaan Al-Qur’an yang Allah turunkan serta akal yang mampu menangkap pengetahuan adalah bukti bahwa Allah telah menjelaskan kebenaran kepada para makhluk-Nya.[5]
Dalam menggunakan akal, ahli sunah berada di pertengahan antara yang berlebihan dan bergampangan.
Ahli sunah telah merumuskan wilayah kerja akal secara moderat di antara kedua kubu, yaitu kubu yang berlebihan dalam menggunakan akal dan kubu yang tidak menghargai kemampuan akal.[6] Adapun contoh kubu pertama, yaitu para pendakwah ilmu kalam yang menjadikan akal semata sebagai pondasi pengetahuan, sedangkan keimanan dan Al-Qur’an diposisikan sebagai pengikut akal.
Kontra dengan pendakwah ilmu kalam, banyak orang sufi merendahkan akal. Mereka memandang bahwa hal-hal yang luhur dan mulia itu hanya bisa dicapai dengan cara menihilkan akal. Kerap kali mereka mengafirmasi dan memuji hal-hal yang dapat menghilangkan akal, seperti mabuk dan gila.
Kubu pertama berlebihan sampai mereka menetapkan hal-hal yang wajib, boleh, atau terlarang dengan argumentasi akal semata, padahal yang demikian keliru. Bahkan, mereka menolak petunjuk Nabi dengan akal. Adapun kubu kedua meremehkan akal. Mereka menggabungkan keimanan yang semu dengan amalan yang keliru. Mereka keluar dari perilaku dan ucapan yang rasional yang sebenarnya hal itu merupakan karunia dari Allah untuk membedakan kita sebagai manusia dengan selain kita. Mereka mengabaikan akal dari wilayah kerjanya.[7]
Allah memberi hidayah kepada ahli sunah waljamaah untuk dapat berjalan di atas metodologi yang lurus. Syaikhul Islam berkata, ”Kedua kubu tersebut tercela. Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu serta memahami cara beramal dengan sempurna dan benar. Kita dapat berilmu dan beramal dengan bantuan akal. Meskipun demikian, akal tidak bisa berdiri sendiri. Akal merupakan tabiat yang ada pada diri seseorang sebagaimana penglihatan itu tabiat yang tertanam pada bola mata. Jika akal berpadu dengan keimanan dan Al-Qur’an, ia sama seperti bola mata yang bisa bekerja baik dengan adanya cahaya matahari. Sebaliknya, bola mata tidak dapat berfungsi dengan baik jika bekerja tanpa cahaya. Seandainya akal itu dicabut dari seseorang, maka ucapan dan perbuatannya tidak berbeda dengan hewan, terkadang sama-sama memiliki cinta, senang, dan perasaan naluri. Oleh karenanya, perbuatan yang tidak diiringi dengan akal akan menjadi buruk, sedangkan ucapan yang berseberangan dengan rasionalitas akan menjadi keliru.
Sebagai penguat, kini menjadi jelas betapa tidak adilnya jika ahli sunah waljamaah mendapat tuduhan sebagai orang-orang yang mengabaikan akal. Sungguh aneh ketika ahli kalam menyangka bahwa ahli sunah waljamaah adalah orang yang hanya ikut-ikutan saja tanpa ada proses berpikir yang ilmiah (secara bahasa Arab disebut sebagai an-nazhar wal istidlal) serta menolak argumentasi rasional. Tentu itu tidak benar. Ahli sunah waljamaah memiliki kaidah dasar yang telah disepakati bahwa mereka tidak menolak suatu hal apapun yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ternyata Allah memerintahkan dalam Al-Qur’an untuk mengamati, mengambil pelajaran, berpikir, dan merenung melalui ayat yang banyak. Tidak ada seorang ulama terdahulu, para imam, maupun ulama ahli sunah setelahnya yang mengingkari hal tersebut. Mereka semua sepakat untuk menerima itu semua. Hanya saja, kata النظر (an-nazhar), الاستدلال (al-istidlal), dan الكلام (al-kalam) memiliki definisi ganda (yaitu definisi bahasa [an-nazhar berarti berpikir, al-istidlal berarti berargumen, dan al-kalam berarti ucapan] dan definisi istilah yang digunakan dalam permasalahan akidah ahli kalam secara khusus, -pen). Ahli sunah mengingkari akidah baru yang diadakan oleh ahli kalam pada tiga kata itu. Sayangnya, ahli kalam meyakini bahwa pengingkaran terhadap istilah itu berarti mengingkari seluruh jenis kegiatan berpikir dan berdalil.[8]
***
Penulis: Syaroful Anam
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Dar’u At-Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 9:39.
[2] Ibid., 1:199.
[3] Al-Adillah An-Naqliyyah Al-‘Aqliyyah ‘ala Ushul Al-I’tiqad, hal. 36-38.
[4] Ash-Sharim Al-Maslul, hal. 250.
[5] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 2:458.
[6] Manhaj As-Salaf wa Al-Mutakallimin fi Muwafaqati Al-‘Aql li An-Naql, 1:114.
[7] Majmu’ Al-Fatawa, 3:338-339.
[8] Ibid., 4:55-56.
Leave a Reply