Hadis: Ketentuan terkait Mahar

Hadis: Ketentuan terkait Mahar

Teks Hadis

Diriwayatkan dari sahabat Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Ada seorang wanita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku padamu.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memandangi wanita tersebut dari atas hingga ke bawah, lalu beliau menunduk. Dan ketika wanita itu melihat bahwa beliau belum memberikan keputusan akan dirinya, ia pun duduk. Tiba-tiba seorang laki-laki dari sahabat beliau berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya.’

Lalu beliau pun bertanya,

هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟

‘Apakah kamu punya sesuatu (untuk dijadikan sebagai mahar)?’

Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah.’

Kemudian beliau bersabda,

اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا؟

‘Kembalilah kepada keluargamu dan lihatlah apakah ada sesuatu?’

Laki-laki itu pun pergi dan kembali lagi seraya bersabda, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-apa.’

Beliau bersabda,

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ

‘Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi.’

Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, ‘Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, meskipun cincin dari besi, aku pun tidak punya. Akan tetapi, yang ada hanyalah kainku ini.’

Sahl berkata, ‘Tidaklah kain yang ia punyai itu kecuali hanya setengahnya.’

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya,

مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْءٌ

‘Apa yang dapat kamu lakukan dengan kainmu itu? Apabila kamu mengenakannya, maka ia tidak akan memperoleh apa-apa. Dan apabila dia memakainya, maka kamu juga tidak memperoleh apa-apa.’

Lalu laki-laki itu pun duduk agak lama dan kemudian beranjak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya dan beliau pun langsung menyuruh seseorang untuk memanggilkannya. Ia pun dipanggil, dan ketika datang, beliau bertanya,

مَاذَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ؟

‘Apakah kamu punya hafalan Al-Qur’an?’

Laki-laki itu menjawab, ‘Ya, aku hafal surat ini dan ini.’

Ia sambil menghitungnya. Beliau bertanya lagi,

أَتَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟

‘Apakah kami benar-benar menghafalnya?’

Laki-laki itu menjawab, ‘Ya.’

Akhirnya beliau bersabda,

اذْهَبْ فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ

‘Kalau begitu, pergilah. Sesungguhnya telah aku nikahkan Engkau dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari Al-Qur’an.’” (HR. Bukhari no. 5030, 5121 dan Muslim no. 1425)

Kandungan Hadis

Kandungan pertama

Hadis ini merupakan dalil bolehnya seorang wanita yang ingin menikah untuk menawarkan dirinya sendiri kepada laki-laki saleh yang dia harapkan bisa berbahagia dengan menikah dengannya. Imam Bukhari rahimahullah membuat judul bab hadis ini,

بَابُ عَرْضِ المَرْأَةِ نَفْسَهَا عَلَى الرَّجُلِ الصَّالِحِ

“Bab (bolehnya) seorang wanita menawarkan dirinya sendiri kepada laki-laki saleh.”

Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Termasuk dalam ketelitian Imam Bukhari adalah ketika beliau mengetahui bahwa hadis tersebut adalah khushushiyah (kekhususan) Nabi dalam kisah seorang wanita yang menghibahkan (menawarkan) dirinya sendiri (untuk dinikahi Nabi), namun beliau membuat kesimpulan (faidah) lain dari hadis tersebut yang tidak mengandung khushushiyah. Yaitu bolehnya seorang wanita untuk menawarkan dirinya sendiri kepada laki-laki saleh yang dia harapkan kebaikannya. Hal tersebut diperbolehkan. Jika laki-laki itu juga ingin menikah dengan wanita tersebut, dia pun menikahi wanita tersebut dengan persyaratan darinya.” [1]

Kandungan kedua

Hadis ini dalil bolehnya melihat (me-nazhor) seorang wanita sebelum menikahinya, bagi laki-laki yang memang ingin menikahi wanita tersebut. Hal ini berdasarkan potongan hadis,

فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ

“Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memandangi wanita tersebut dari atas hingga ke bawah.”

Kami telah membahas hal ini di tulisan sebelumnya.

Baca juga: Hadis: Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 1)

Kandungan ketiga

Bolehnya seorang wanita menawarkan dirinya sendiri kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya tanpa mahar. Ini merupakan kekhususan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak berlaku untuk umatnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَامْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“ … dan perempuan mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi. Kalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 50)

Adapun selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus menyerahkan mahar, baik mahar yang sudah ditentukan (disebutkan) ketika akad nikah atau mahar mitsl (mahar standar).

Kandungan keempat

Hadis ini adalah dalil wajibnya mahar dalam pernikahan. Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebagian riwayat hadis ini,

هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا إِيَّاهُ؟

“Apakah Engkau memiliki sesuatu yang Engkau jadikan sebagai mahar?” (HR. Abu Dawud no. 2111, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Selain itu, yang lebih afdal adalah menyebutkan mahar tersebut ketika akad nikah, untuk mencegah terjadinya perselisihan dan juga lebih bermanfaat untuk pihak wanita. Seandainya wanita tersebut ditalak (dicerai) sebelum terjadi dukhul (senggama), maka ditetapkan baginya separuh mahar. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah setengah dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al-Baqarah: 237)

Jika ketika akad, mahar tersebut belum diserahkan, maka akad nikah tetap sah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Ayat tersebut menunjukkan bolehnya akad nikah meskipun belum menetapkan mahar. Namun, wanita tersebut berhak mendapatkan mahar mitsl dengan adanya dukhul (senggama).

Kandungan kelima

Para ulama berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan bahwa khotbah nikah itu tidak wajib. Hal ini karena tidak disebutkan adanya khotbah nikah dalam berbagai jalur periwayatan hadis tersebut.

Baca juga: Hadis: Disyariatkannya Khotbah ketika Akad Nikah

Kandungan keenam

Jumhur ulama berdalil dengan hadis ini bahwa lafal akad nikah itu tidak harus dengan kata-kata “aku nikahkan”. Akan tetapi, akad nikah dinilai sah dengan semua lafal yang menunjukkan adanya akad nikah. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, dan salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. [2]

Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اذْهَبْ فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ

“Kalau begitu, pergilah. Sesungguhnya Engkau telah aku nikahkan dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari Al-Qur’an.”

Di sini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan lafal, “mallaktuha”, bukan “ankahtuka”.

Jika akad nikah dinilai sah dengan lafal “tamlik” (sebagaimana redaksi hadis di atas), maka akad nikah sah dengan semua lafal yang menunjukkan adanya akad nikah.

Maka yang dianggap dalam suatu akad adalah maksud dan makna yang terkandung dalam suatu lafal, bukan tekstual kata itu sendiri. Lafal-lafal yang menunjukkan jual beli, sewa menyewa, hibah, atau nikah, bukan lafal yang dimaksudkan untuk ta’abbudiyah yang tidak boleh diganti dengan lafal yang lain. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah adat kebiasaan manusia dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang beraneka ragam.

Kandungan ketujuh

Ulama berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan bolehnya menjadikan pengajaran Al-Quran sebagai mahar dalam pernikahan. Ini adalah pendapat ulama Syafi’iyyah, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dipilih oleh sebagian ulama Hanabilah, dan juga pendapat Ibnu Hazm rahimahumullah. [3]

Kesimpulan ini diambil dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat yang lain dari Abu Dawud,

قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya Engkau telah aku nikahkan dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari Al-Qur’an.” (HR. Abu Dawud no. 2111, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Yang rajih (lebih kuat) bahwa huruf ba’ di sini (بِمَا) bermakna muqabalah (menunjukkan makna tukar-menukar).

Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa tidak boleh menjadikan pengajaran Al-Quran sebagai mahar dalam pernikahan. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. [4]

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ

“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa’: 24)

Sisi pendalilannya, Allah Ta’ala mensyaratkan bahwa mahar itu berupa harta. Jika bukan berbentuk harta, maka tidak disebut sebagai mahar, dan tidak bisa dinamakan sebagai mahar. [5] Pengajaran Al-Quran itu juga merupakan bentuk ibadah dari pelakunya, sehingga tidak bisa disebut sebagai mahar, sebagaimana ibadah salat, puasa, dan selainnya.

Pendapat yang lebih tepat adalah tidak boleh menjadikan pengajaran Al-Quran sebagai mahar apabila calon suami masih bisa mendapatkan harta sebagai mahar. Apabila tidak bisa, maka boleh menjadikan pengajaran Al-Quran sebagai mahar. Inilah yang ditunjukkan dalam hadis di atas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menjadikan pengajaran Al-Quran sebagai mahar laki-laki tersebut kecuali ketika laki-laki tersebut memang tidak memiliki harta sama sekali. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. [6]

Kandungan kedelapan

Dalam hadis ini terkandung dalil bolehnya menikahkan orang yang miskin. Sisi pendalilannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada laki-laki tersebut,

فَالْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ

‘Carilah, meskipun hanya cincin dari besi.’

Laki-laki itu kemudian mencarinya, namun tidak mendapatkan sesuatu pun. Meskipun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menikahkannya. Jika si wanita rida dengan calon suaminya yang miskin, maka tidak ada penghalang untuk menikahkan keduanya. Ini adalah konsekuensi dari firman Allah Ta’ala,

إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ: المُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ

“Tiga golongan yang pasti Allah tolong: 1) orang yang berjihad di jalan Allah; 2) budak yang ingin merdeka dari tuannya (dengan tebusan); dan 3) orang yang ingin menikah agar dirinya terjaga dari perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi no. 1655; An-Nasa’i, 6: 15, 61; Ibnu Majah no. 2518; dan Ahmad, 12: 378-379. Dinilai hasan oleh Al-Albani.)

Ibnu Jarir rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

التمسوا الغنى في النكاح، يقول الله تعالى: إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Carilah kecukupan dengan menikah, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” [7]

Di dalam Tafsir Al-Baghawi, dari Umar radhiyallahu ‘anhu dengan redaksi yang semisal. Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah menyebutkan riwayat tersebut, “Yang diyakini dari kemurahan dan kelembutan Allah Ta’ala adalah Allah Ta’ala akan memberikan rezeki dalam pernikahan tersebut yang cukup untuknya dan istrinya.” [8] Wallahu Ta’ala a’lam. [9]

[Selesai]

***

@1 Shafar 1446/ 6 Agustus 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Fathul Baari, 9: 175.

[2] Bidayatul Mujtahid, 3: 13; Al-Mughni, 9: 460; Syarh Fathul Qadir, 3: 193.

[3] Al-Muhadzdzab, 2: 72; Al-Mughni, 8: 8; dan Al-Muhalla, 9: 494.

[4] Al-Mughni, 8: 8; Bada’i Ash-Shana’i, 2: 277; dan Hasyiyah Ad-Dasuqi, 2: 209.

[5] Bada’i Ash-Shana’i, 2: 377.

[6] Lihat Al-Ahkaam Al-Khashshah bil Qur’an, 2: 1493.

[7] Tafsir Ibnu Jarir, 18: 98.

[8] Tafsir Al-Baghawi, 3: 342; Tafsir Ibnu Katsir, 6: 55.

[9] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 209-217). Kutipan-kutipan yang kami sebutkan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *