Allah memerintahkan kepada kita untuk berbuat adil. Allah melarang kita dari perbuatan kezaliman. Oleh sebab itu, kita tidak diperbolehkan tolong-menolong dalam melakukan kezaliman, karena hal itu termasuk tolong-menolong dalam dosa dan keharaman.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Muadz tatkala mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi (hakim) dan pengajar ilmu bagi penduduk Yaman, beliau berkata,
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Hati-hatilah kamu dari doanya orang yang terzalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin memiliki tugas dan kewajiban mulia di dalam masyarakat, yaitu untuk menegakkan keadilan. Akan tetapi, pemimpin juga beresiko menanggung dosa yang berat apabila tidak menerapkan keadilan. Hal ini menunjukkan bahwa menjadi pemimpin yang adil adalah sebuah amal kewajiban yang sangat utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan mengenai 7 golongan orang yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, yang pertama di antara mereka adalah,
الْإِمَامُ الْعَادِلُ
“Seorang imam (pemimpin) yang adil…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari situlah para ulama salaf memahami betapa besar peran dan kedudukan penguasa bagi suatu negeri. Sampai-sampai sebagian di antara mereka berkata, “Seandainya aku memiliki sebuah doa yang mustajab, niscaya akan aku peruntukkan doa itu untuk penguasa.”
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat seseorang yang mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut Sunah (ajaran nabi).”
Allah memerintahkan kita untuk taat kepada Allah dan Rasul, kemudian Allah juga memerintahkan kita untuk taat kepada ulil amri (penguasa kaum muslimin). Akan tetapi, ketaatan kepada ulil amri terbatas dalam perkara yang ma’ruf atau tidak bertentangan dengan syariat. Adapun dalam kemaksiatan dan penyimpangan, maka tidak boleh taat. Meskipun demikian, kaum muslimin tidak boleh memberontak melawan pemimpin yang sah dengan alasan bahwa mereka telah berbuat kezaliman. Ini merupakan pedoman dan kaidah beragama yang dipahami oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana telah tertuang seperti dalam kitab Aqidah Thahawiyah dan yang lainnya.
Meskipun demikian, hal itu bukan berarti tidak ada amar ma’ruf dan nahi mungkar. Justru dengan tidak memberontak kepada penguasa, akan terwujud kemaslahatan yang lebih besar, yaitu terjaganya darah dan harta kaum muslimin. Adapun kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaknya dinasihati dengan cara yang baik, bukan dengan mengumbar aibnya di muka publik, sebagaimana hal itu telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً
“Barangsiapa yang ingin menasihati seorang yang menjadi penguasa maka hendaklah dia tidak menampakkannya di hadapan orang banyak…” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim).
Dengan demikian, nasihat kepada mereka disampaikan secara khusus, bukan dengan cara demonstrasi ataupun unjuk rasa di jalan-jalan.
Metode inilah yang akan membuka jalan perbaikan dan menjaga keamanan negeri. Adapun melakukan tindakan anarkis atau mencaci-maki penguasa dalam orasi publik atau demonstrasi, akan rawan menjatuhkan pelakunya pada dosa ghibah dan namimah. Apabila ghibah atau menggunjing seorang muslim biasa saja (baca: rakyat biasa) adalah dosa besar, lalu bagaimana lagi jika yang dighibahi adalah para pemimpin muslim di sebuah negeri?!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Baca juga: Hidup Tenteram Tanpa Miras
Seorang muslim bisa mengingkari kemungkaran dengan lisan secara umum tanpa perlu menyebutkan pelakunya, misalnya dia katakan bahwa khomr (minuman keras) itu haram, berzina dosa besar, korupsi adalah kezaliman, judi adalah sumber malapetaka, dan sebagainya. Dan cara semacam itu pun telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, apabila di tengah masyarakat kita jumpai begitu banyak outlet miras yang membuka layanan penjualan minuman keras di sekitar area publik, semisal di dekat rumah ibadah, atau di dekat pemukiman, atau di dekat sekolah, alangkah baik jika anda bisa menemui pihak yang berwenang atau pemerintah di daerah tersebut agar bisa segera menanggulangi penyakit masyarakat ini. Dan hal ini termasuk bentuk nasihat kepada penguasa yang diperintahkan di dalam Islam.
Bagi para pengajar atau guru dan dosen bisa memberikan nasihat dan peringatan kepada para peserta didiknya tentang bahaya khomr (miras) dan dampaknya yang sangat buruk di dunia dan di akhirat. Begitu banyak sekolah, kampus, dan lembaga pendidikan yang bisa kita harapkan saling mendukung untuk membantu pemerintah dalam membendung peredaran miras. Tentu pada pemerintah ada kekurangan dan kita memiliki tugas untuk membantu mereka semampu kita sesuai dengan batasan-batasan yang dibenarkan di dalam syariat.
Allah berfirman,
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11)
Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa ayat ini menjadi dasar atau pedoman bahwa perubahan keadaan yang memburuk di tengah masyarakat itu pada asalnya bersumber dari ulah dan perilaku masyarakat itu sendiri.
Oleh sebab itu, wajib bagi kita semuanya untuk senatiasa bertobat dan beristigfar kepada Allah serta meninggalkan segala bentuk kezaliman. Jangan sampai kita sibuk menuduh orang lain sebagai pelaku kezaliman ini dan itu, sementara kezaliman yang diri kita sendiri lakukan seolah tak tampak dan sepele… wal ‘iyadzu billaah …
Semoga Allah memberikan taufik kepada pemerintah kaum muslimin di manapun berada untuk bisa menegakkan keadilan dan membawa ketentraman bagi masyarakat… Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shohbihi sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Baca juga: Miras: Biang Segala Kerusakan dan Kejahatan
***
Markas YPIA, 12 Rabi’ul Awwal 1446 H
Bertepatan dengan 16 September 2024
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply