*SBUM*
*Sobat Bertanya*
*Ustadz Menjawab*
╚══❖•ೋ°° ೋ•❖══╝
*NO : 1⃣1⃣4⃣2⃣*
*Dirangkum oleh Grup Islam Sunnah | GiS*
https://grupislamsunnah.com
*Kumpulan Soal Jawab SBUM*
*Silakan Klik :* https://t.me/GiS_soaljawab
═══════ ° ೋ• ═══════
*PELUNASAN UTANG*
*YANG DITERIMA*
*DENGAN MENGGUNAKAN*
*MATA UANG TERTENTU*
*ADALAH SEMISAL JUMLAH*
*UANG YANG DITERIMA*
*Pertanyaan*
Nama: SDP
Angkatan: T04
Grup : p54
Nama Admin : Ummu Ammar
Silfia
Nama Musyrifah : Tities Sulargo
Domisili : Malaysia
*TANYA USTADZ*
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه
Afwan ana izin bertanya Ustadz.
Jika seseorang telah mengkhianati amanah orang lain, untuk dana pembangunan masjid.
1⃣ Bagaimanakah cara pembayarannya ?
Kejadian berlaku sekitar tahun 1993/1994, uang yang terpakai sejumlah Rp 300.000 dan orang tersebut telah meninggal dunia. Ahli warisnya tidak mengetahui siapa saja para donatur pembangunan masjid tersebut.
Yang menjadi pertanyaan ;
2⃣ Apakah ahli waris perlu membayar Rp 300.000 atau harus menyesuaikan dengan nilai harga emas pada tahun 1993 dengan nilai harga emas pada saat sekarang.
Dengan pertimbangan harga bahan bangunan pada saat itu jauh lebih murah dibandingkan sekarang.
3⃣ Dan apakah boleh membayarkannya ke masjid yang lain, yang sedang dalam proses pembangunan ?
Mohon Ustadz berkenan menjelaskan…
جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.
*Jawaban*
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والصلام على رسول الله اما بعد.
1⃣ Cara membayarnya adalah dengan memberikan dana tersebut kepada masjid yang ingin dibangunkan. Walupun masjid tersebut sudah dibangun, akan tetapi uang tersebut digunakan untuk kegiatan masjid tersebut. Akan tetapi apabila saldo masjid tersebut ternyata juga melebihi dari kebutuhan masjid, maka silahkan diberikan dana tersebut kepada masjid lain yang sedang dalam proses pembangunan, dengan syarat izin terlebih dahulu kepada pengurus masjid yang sudah dibangun tersebut.
2⃣ Muktamar kelima Majma’ Fikih Islami yang diadakan di Kuwait pada bulan Desember 1988 mengeluarkan keputusan yang ke-42, sebagai berikut:
“Yang menjadi tolak ukur pelunasan utang yang diterima dengan menggunakan mata uang tertentu adalah semisal jumlah uang yang diterima dengan mata uang tersebut, tidak dengan nilai mata uang itu, karena utang itu dilunasi dengan yang semisal ketika diterima. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengaitkan utang dalam mata uang tertentu dengan harga mata uang tersebut.”
Penjelasan tentang dalil yang menjadi pijakan dalam masalah ini, bisa kita jumpai dalam penjelasan salah seorang ulama yang berasal dari Yaman, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i. Beliau pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Seseorang berutang sejumlah uang, kemudian nilai mata uang naik, maka apakah debitur ini harus membayar dengan jumlah pertama ataukah dengan jumlah saat mata uang tersebut naik?”
Jawaban beliau, “Dia harus membayar sesuai dengan jumlah yang diambilnya, sedangkan naik atau turunnya nilai mata uang tersebut tidaklah berpengaruh pada utangnya. Misalnya ada orang yang berutang satu juta rupiah. Ketika berutang, nilai satu juta sama dengan US$ 150. Kemudian, ketika dia hendak membayar utang, nilai satu juta sama dengan US$ 100. Maka, kita katakan bahwa dia harus membayar satu juta rupiah sebagaimana yang telah diambilnya, sedangkan turunnya nilai mata uang tidak teranggap dalam hal ini.
Disebutkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, yang sanadnya lemah, tapi maknanya benar menurut mayoritas ulama, (yaitu hadits) tentang penukaran mata uang, yang makna hadits tersebut adalah, ‘Tukar-menukar dinar diperbolehkan jika dengan harga saat itu (yaitu saat diambil.
3⃣ Sama seperti jawaban pertama.
والله تعالى أعلم بالصواب.
Dijawab oleh : Mahatir Fathoni S.Ag
Diperiksa oleh : …..
Leave a Reply