Hukum Menikah dengan Pezina

Hukum Menikah dengan Pezina

Teks Hadis

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَنْكِحُ الزَّاني الْمَجْلُودُ إلَّا مِثْلَهُ

“Seorang pezina yang telah dijilid (dicambuk) tidak boleh menikah kecuali dengan yang serupa dengannya.” (HR. Ahmad, 14: 52; Abu Dawud no. 2052; Al-Hakim, 2: 166, 193; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kandungan Hadis

Hadis ini menunjukkan bahwa haram bagi seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang diketahui (jelas-jelas) telah berzina, dan haram bagi seorang wanita untuk dinikahkan dengan laki-laki yang jelas-jelas diketahui telah berzina.

Hal ini, wallahu a’lam, karena wanita pezina dapat merugikan suaminya dan merusak kehidupan rumah tangganya. Suami bisa mengalami kesedihan (atas yang sudah berlalu) dan kekhawatiran (atas masa yang akan datang), serta mungkin juga wanita tersebut akan melahirkan anak dari laki-laki lain.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

ومن تزوج غير تائبة فقد رضي أن تزني، إذ لا يمكنه منعها من ذلك، فإن كيد النساء عظيم

“Barangsiapa yang menikahi wanita (pezina) yang belum bertobat, maka dia telah setuju dengan perbuatan zina yang dilakukan sang wanita tersebut. Karena berarti ia tidak berusaha untuk mencegah sang wanita untuk tetap berzina. Sesungguhnya tipu daya wanita itu besar.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 37)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menikah dengan pezina yang belum bertobat.

Pendapat pertama, hukumnya haram

Pendapat tentang haramnya menikahi wanita pezina dan menikahi laki-laki pezina yang belum bertobat adalah pendapat Qatadah, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ash-San’ani rahimahumullah (Lihat Subulus Salam, 6: 68). Juga pendapat yang dipilih oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فأما نكاح الزانية فقد تكلم فيه الفقهاء من أصحاب أحمد وغيرهم، وفيه آثار عن السلف، وإن كان الفقهاء قد تنازعوا فيه، وليس مع من أباحه ما يعتمد عليه

“Adapun menikahi wanita pezina, telah dibahas oleh para ulama dari kalangan madzhab Ahmad dan lainnya, serta terdapat atsar dari salaf tentang hal ini. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentangnya, namun tidak ada dalil yang kuat bagi (pendapat) yang membolehkannya.” (Tafsir Surah An-Nuur, hal. 48)

Selain berdalil dengan hadis di atas, para ulama yang mengharamkan juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki pezina tidaklah menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Dan wanita pezina tidaklah dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3)

Penafian (peniadaan) dalam ayat tersebut mengandung larangan, yang diterapkan pada akad nikah, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir, berdasarkan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat ini) [1]. Dan didukung pula oleh firman Allah Ta’ala,

وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3)

Pendapat kedua, hukumnya diperbolehkan

Adapun mayoritas ulama, termasuk Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, memperbolehkan menikah dengan pezina yang belum bertobat, sedangkan Imam Malik membolehkannya meskipun dengan berstatus makruh. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 3: 73; Al-Mughni, 9: 562; dan Adhwa’ul Bayan, 6: 72)

Mereka berdalil dengan cakupan makna umum firman Allah Ta’ala,

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

“Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu.” (QS. An-Nisa’: 24)

Sisi pendalilannya, di ayat sebelumnya, yaitu surah An-Nisa ayat 23 dan awal surah An-Nisa ayat 24, disebutkan beberapa wanita yang termasuk mahram sehingga haram untuk dinikahi. Namun, tidak disebukan wanita pezina sama sekali sebagai wanita yang haram dinikahi. Dan di surah An-Nisa ayat 24 disebutkan, “Dan dihalalkan bagimu selain dari yang telah disebutkan itu”, sehingga wanita pezina termasuk dalam cakupan yang dihalalkan.

Dan mereka menjawab firman Allah Ta’ala,

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً

“Laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina”;

bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.” [2]

Alasan mereka lainnya adalah bahwa dalam surah An-Nur ayat 3, Allah Ta’ala juga menyebutkan orang musyrik dan musyrikah (musyrik laki-laki dan musyrik perempuan). Sedangkan orang musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina. Begitu juga sebaliknya, seorang laki-laki mukmin, namun pezina, tidak boleh menikah dengan wanita musyrik. Sehingga makna “yankihu” dalam ayat ini adalah “hubungan seksual”, bukan “akad nikah.”

Mereka juga berkata bahwa ayat ini dalam makna dzahirnya adalah untuk mencela keadaan pezina laki-laki dan pezina wanita, serta menegaskan keburukan para pezina (bukan untuk melarang menikah dengan pezina). Dan bahwa seorang laki-laki pezina tidak pantas menikahi wanita yang menjaga diri dari zina (‘afifah), kecuali wanita pezina seperti dia atau wanita musyrik, begitu juga sebaliknya dengan wanita pezina. Ayat ini tidak berbicara tentang larangan akad nikah. Oleh karena itu, diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang ‘afif (menjaga dirinya dari zina) untuk menikahi wanita pezina, dan seorang wanita yang ‘afifah boleh menikahi laki-laki pezina. Isyarat dalam firman Allah Ta’ala,

وَحُرِّمَ ذَلِكَ

“Dan diharamkan yang demikian itu”

mengacu pada zina (hubungan seksual yang haram), bukan akad nikah.

Pendapat terpilih

Pendapat tentang haramnya menikahi pezina ini adalah pendapat yang kuat, karena dalil dari ayat ini jelas, terutama pada akhir ayatnya,

وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur: 3)

Yang menurut pendapat yang lebih kuat, isyarat dalam ayat ini kembali pada pembahasan akad pernikahan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yakni “menikahi para pezina diharamkan atas orang-orang mukmin.” Penafsiran ini juga didukung oleh asbabun nuzul dari ayat ini.

Ayat ini menjadi permasalahan bagi para mufassir karena penafsiran “nikah” dalam ayat ini sebagai “akad nikah” tidak sesuai dengan penyebutan orang musyrik dan musyrikah [3]. Sementara penafsiran “nikah” sebagai “hubungan seksual” tidak sesuai dengan asbabun nuzul yang menunjukkan bahwa maksudnya adalah “akad nikah”. Oleh karena itu, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ayat ini, dan yang tampak, insya Allah, tidak ada kesulitan (kebingungan) dalam memahami ayat ini. Hal ini karena asbabun nuzul itu menentukan makna ayat ini dan membantu dalam memahami makna ayat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Oleh karena itu, maksudnya adalah “akad nikah”, sebagaimana pendapat mayoritas ahli tafsir.

Dan ayat ini tidak bermaksud menjelaskan siapa yang boleh menikahi pezina dan siapa yang tidak boleh, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa boleh bagi seorang muslim menikahi orang musyrik dan sebaliknya. Akan tetapi, maksudnya adalah menjauhkan diri dari zina dan pelakunya, serta bahwa seorang mukmin tidak boleh menjalin hubungan dengan seorang pezina, sebagaimana yang ditunjukkan oleh asbabun nuzul, dan begitu pula sebaliknya. (Tafsir Surah An-Nur, karya Dr. Nashir Al-Hamid, hal. 102).

Syekh Abdullah Alu Basaam rahimahullah berkata,

وهذا دليلٌ صريح على تحريم نكاح الزانية حتى تتوب، وكذلك إنكاح الزاني حتى يتوب

“Ayat tersebut adalah dalil yang jelas tentang haramnya menikahi seorang wanita pezina hingga dia bertobat, begitu juga menikahi seorang laki-laki pezina hingga dia bertobat.” (Taudhihul Ahkam, 5: 302-303)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

نِكَاحُ الزَّانِيَةِ حَرَامٌ حَتَّى تَتُوبَ سَوَاءٌ كَانَ زَنَى بِهَا هُوَ أَوْ غَيْرُهُ. هَذَا هُوَ الصَّوَابُ بِلَا رَيْبٍ وَهُوَ مَذْهَبُ طَائِفَةٍ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ: مِنْهُمْ أَحْمَد بْنُ حَنْبَلٍ وَغَيْرُهُ

“Menikahi seorang wanita pezina adalah haram hingga ia bertobat, baik jika yang berzina dengan wanita tersebut adalah dirinya atau orang lain. Ini adalah pendapat yang benar tanpa keraguan dan merupakan pendapat sebagian ulama dari generasi salaf dan khalaf, di antaranya Ahmad bin Hanbal dan lainnya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 109-110)

Adapun ayat,

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

“Dan dihalalkan bagimu selain dari yang demikian itu”; adalah ayat umum yang telah dikhususkan (dikecualikan). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ayat ini dikhususkan dengan hadis,

لا تنكح المرأة على عمتها

“Tidak boleh menikahi seorang wanita dan bibinya sekaligus” (HR. Bukhari no. 5109 dan Muslim no. 1408); begitu juga dalam kasus ini.

Boleh menikah dengan pezina yang sudah bertobat

Jika seorang pezina bertobat atau seorang laki-laki pezina bertobat, maka diperbolehkan menikahi mereka berdasarkan ijmak (kesepakatan) ulama. Tobat dapat dicapai dengan istighfar, penyesalan, dan berhenti dari dosa; seperti tobat dari dosa-dosa lainnya. Ini adalah pendapat yang benar. Sedangkan pendapat bahwa tobat seorang wanita adalah dengan menguji dirinya, jika dia menolak, maka dia telah bertobat, dan jika dia setuju, maka dia belum bertobat, adalah pendapat yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran karena jelas kebatilannya. (Al-Mughni, 9: 564)

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4]

***

@24 Shafar 1446/ 30 Agustus 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Asbabun nuzul ayat ini adalah hadis dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu berikut ini:

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Mekah. Di Mekah ada seorang perempuan pelacur yang bernama ‘Anaq dan ia adalah teman Martsad. Martsad berkata, “Aku datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku berkata, “Ya Rasulullah, saya ingin menikahi ‘Anaq?” Martsad berkata, “Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat yang artinya), “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku, lalu membacakan ayat tadi padaku dan beliau berkata,

لَا تَنْكِحْهَا

“Jangan engkau menikah dengannya.” (HR. Abu Dawud no. 2051 dan An-Nasa’i no. 3230. Dinilai hasan sahih oleh Al-Albani)

[2] Secara bahasa, kata “an-nikah” (النكاح) memiliki dua makna, yaitu: 1) hubungan seksual atau jimak (الوطء); atau 2) akad nikah (العقد).

Jika dimaknai dengan jimak, maka maksudnya, seorang laki-laki pezina tidak akan melakukan hubungan badan yang haram kecuali dengan wanita pezina juga atau wanita musyrik yang tidak peduli haramnya zina.

[3] Karena orang musyrik itu tidak boleh menikahi wanita mukminah, meskipun dia seorang wanita pezina.

[4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 271-273) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 301-303).

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *