Teks Hadis
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ، فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا، ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk melakukan nikah mut’ah pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Makah) [1] selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya.” (HR. Muslim no. 18, 1405)
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah mut’ah pada tahun Khaibar (yaitu, tahun ketujuh Hijriyah, pent.) dan melarang memakan daging keledai jinak.” (HR. Bukhari no. 5115 dan Muslim no. 1407)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama: Hukum nikah mut’ah
Secara bahasa, mut’ah bermakna “manfaat” dan “senang-senang”. Nikah mut’ah adalah menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu (sebagaimana yang disepakati antara laki-laki dan wanita tersebut) dengan mahar yang telah ditentukan. Jangka waktu pernikahan ini secara jelas disebutkan ketika akad nikah, misalnya satu minggu atau satu bulan. Setelah masa tersebut berakhir, perpisahan otomatis terjadi tanpa proses perceraian. Istilah ini diberikan karena wanita mendapatkan manfaat dari apa yang diberikan oleh laki-laki, dan laki-laki mendapatkan manfaat dari wanita untuk memenuhi hasratnya, tanpa tujuan untuk memiliki keturunan atau tujuan-tujuan lain dari pernikahan.
Hadis-hadis tersebut adalah bukti yang menunjukkan bahwa nikah mut’ah itu haram dan akadnya batal (tidak sah). Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarangnya, dan larangan secara umum menunjukkan haram dan tidak sahnya perbuatan yang dilarang. Ibnu Daqiq al-‘Ied rahimahullah berkata,
وفقهاء الأمصار كلهم على المنع
“Para fuqaha (ulama ahli fikih) dari seluruh negeri sepakat melarangnya.” [2]
Di antara hikmah terlarangnya nikah mut’ah adalah:
Pertama: Salah satu tujuan dari pernikahan adalah untuk bersatu (hidup bersama) dan saling menyayangi, serta membentuk keluarga yang baik untuk membangun masyarakat yang sehat. Sedangkan dalam nikah mut’ah, tidak ada maksud dan tujuan tersebut, karena tujuan utamanya hanyalah untuk memenuhi nafsu semata.
Kedua: Nikah mut’ah mengandung makna seperti sewa barang karena ada batas waktu tertentu. Jika seorang laki-laki mengatakan, “Aku menyewamu untuk berhubungan badan selama waktu tertentu”, maka hal tersebut tidak akan diperbolehkan menurut kesepakatan masyarakat pada umumnya. Begitu pula dengan nikah mut’ah, karena pernikahan ini seperti menyewa kemaluan, wanita dianggap seperti objek barang yang berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya.
Ketiga: Nikah mut’ah itu tidak terlepas dari kemungkinan adanya campur aduk nasab.
Keempat: Pengharaman nikah mut’ah itu termasuk dalam kategori menutup celah (menuju perkara haram), yaitu agar tidak menjadi sarana menuju zina, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [3]
Kita tidak seharusnya memperhatikan pendapat orang-orang yang menghalalkannya, yaitu kelompok Syi’ah Rafidhah, yang menggunakan hadis-hadis yang menyebutkan kebolehan nikah mut’ah meskipun hadis-hadis tersebut telah dinyatakan mansukh (dihapus atau dibatalkan hukumnya), atau menggunakan dalil-dalil lain yang lemah, seperti firman Allah Ta’ala,
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (setubuhi) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” (QS. An-Nisa: 24) [4]
Mereka mengatakan bahwa ungkapan “istimta” (menikmati) dan kata “ujur” menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah nikah mut’ah. Ini adalah dalil yang batil, ditinjau dari tiga sisi berikut ini:
Pertama: Kata “ujur” (upah) digunakan dalam konteks mahar, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Karena itu, nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah ujur (mahar) kepada mereka menurut yang patut.” (QS. An-Nisa: 25)
Kedua: Dalil-dalil telah jelas menunjukkan bahwa nikah mut’ah itu diharamkan hingga hari kiamat, dan dalil-dalil tersebut jauh lebih tegas daripada sekedar pemahaman Syi’ah terhadap ayat tersebut.
Ketiga: Jika kita anggap bahwa ayat tersebut memang berlaku untuk nikah mut’ah, maka ayat tersebut telah dinyatakan batal (mansukh). [5]
Kelompok Syi’ah itu kontradiktif, karena pengharaman nikah mut’ah diriwayatkan dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, seperti yang telah disebutkan. Sedangkan beliau adalah imam dan bahkan sesembahan mereka [6]. Sementara itu, pendapat yang membolehkannya diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dan beliau menganggapnya seperti bangkai; yaitu hanya untuk keadaan darurat saja.
Terdapat kemungkinan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengubah pendapatnya setelah melihat orang-orang yang banyak dan cepat mengikuti fatwanya. Akan tetapi, Ibnu ‘Abdul Barr rahimahullah menilai bahwa riwayat tentang perubahan pendapat Ibnu ‘Abbas itu lemah [7]. Meskipun demikian, selama larangan dan pengharaman nikah mut’ah yang valid telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak ada argumen dari siapapun juga yang bisa melawan atau membantahnya.
Kandungan kedua: Nikah mut’ah pernah dibolehkan di awal Islam
Pada awal-awal Islam, nikah mut’ah adalah diperbolehkan [8], kemudian diharamkan secara permanen hingga hari kiamat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Rabi’ bin Sabrah Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan bahwa dia bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun pembebasan kota Makah (Fathu Makah), lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Wahai sekalian manusia, (dulu) aku telah memperbolehkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita, namun (sekarang) Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat …” (HR. Muslim no. 1406)
Kandungan ketiga: Kondisi yang memperbolehkan nikah mut’ah di awal Islam
Makna dzahir dari dua hadis tersebut menunjukkan bahwa nikah mut’ah hanya diizinkan dalam kondisi darurat pada saat bepergian (safar) [9], dan tidak pernah diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (mukim) atau dalam situasi nyaman (tidak darurat). Dalam hadis Jabir dan Salamah bin Akwa’ radhiyallahu ‘anhuma disebutkan,
كُنَّا فِي جَيْشٍ، فَأَتَانَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا
“Kami berada dalam sebuah pasukan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami dan berkata, “Sesungguhnya kalian telah diperbolehkan untuk melakukan mut’ah, maka lakukanlah.” (HR. Bukhari no. 5117, 5118)
Dan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَيْسَ لَنَا شَيْءٌ، فَقُلْنَا: أَلاَ نَسْتَخْصِي؟ فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ، ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ المَرْأَةَ بِالثَّوْبِ، ثُمَّ قَرَأَ عَلَيْنَا: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ، وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ المُعْتَدِينَ
“Kami pernah pergi berperang bersama-sama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan pada saat itu, kami tidak punya apa-apa. Kemudian kami pun berkata, “Apakah kami harus mengebiri?” Dan ternyata beliau pun melarang kami untuk melakukannya, lalu beliau memberikan rukhshah (keringanan) kepada kami, yakni menikahi wanita meskipun dengan mahar sepotong kain. Kemudian beliau membacakan ayat (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik yang dihalalkan Allah untuk kalian. Dan janganlah kalian melampau batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Ma`idah 87) (HR. Bukhari no. 5075 dan Muslim no. 1404)
Dari Abu Jumrah, dia berkata,
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ: سُئِلَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَرَخَّصَ، فَقَالَ لَهُ مَوْلًى لَهُ: إِنَّمَا ذَلِكَ فِي الحَالِ الشَّدِيدِ، وَفِي النِّسَاءِ قِلَّةٌ؟ أَوْ نَحْوَهُ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: نَعَمْ
“Aku mendengar Ibnu ‘Abbas ditanya tentang mut’ah wanita, dan dia membolehkannya. Maka salah seorang budaknya berkata, “Itu hanya untuk keadaan yang sangat mendesak dan jumlah wanita yang sedikit, bukan yang lain?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Benar.” (HR. Bukhari no. 5116)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
هذه أخبار يقوي بعضها بعضًا، وحاصلها أن المتعة إنما رخص فيها بسبب العُزبة في حال السفر، وهو يوافق حديث ابن مسعود رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
“Riwayat-riwayat ini saling memperkuat satu sama lain, dan inti dari dalil-dalil tersebut adalah bahwa nikah mut’ah hanya diperbolehkan karena keadaan darurat saat bepergian, dan ini sesuai dengan hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.” [10]
[Bersambung]
***
@9 Rabiul awal 1446/ 13 September 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Authas adalah merupakan sebuah lembah di daerah Hawazin, di antara lembah-lembah Tha’if, dekat dengan Hunain. Sekarang, tempat tersebut tidak dikenal dengan nama itu. Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menyebutkan bahwa beberapa orang terpercaya yang mengetahui dari penduduk daerah tersebut memberitahunya bahwa Authas adalah tempat yang sekarang dikenal sebagai “Al-Buhayta”, yang terletak antara Syi’l al-Kabir dan Nakhlah al-Yamaniyyah, dan berjarak sekitar enam puluh kilometer ke timur dari Makah. (Taudhihul Ahkam, 4: 387)
Pertempuran Authas terjadi setelah pembebasan kota Makah (Fathu Makah) pada bulan Syawal tahun kedelapan Hijriyah, sedangkan Fathu Makah sendiri terjadi bulan Ramadan tahun kedelapan Hijriyah. Ketika itu, pasukan yang kalah dari suku Hawazin dan sekutunya melarikan diri setelah pertempuran Hunain dan berkemah di Authas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan sebuah pasukan yang dipimpin oleh Abu ‘Amir al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang merupakan paman dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Dia bertempur hingga meninggal dunia, kemudian kepemimpinan dialihkan kepada Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang melanjutkan pertempuran hingga mengalahkan mereka.
[2] Ihkaamul Ahkaam, 4: 195.
[3] I’laamul Muwaqi’in, 3: 168.
[4] Al-I’lam, karya Ibnul Mulaqin, 8: 168.
[5] Adhwa’ul Bayaan, 1: 384.
[6] Lihat Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, hal. 127.
[7] Al-Istidzkaar, 16: 399.
[8] Al-I’laam, 8: 199.
[9] Hal ini karena terdapat diksi “memberikan rukhshah (keringanan)”. Sehingga yang dapat dipahami adalah bahwa asalnya adalah terlarang, namun ada kondisi tertentu yang menyebabkan menjadi diperbolehkan.
[10] Fathul Baari, 9: 172; At-Talkhish, 3: 177.
Leave a Reply