Utang Negara, Apa Rakyat Ikut Menanggung?
Utang Negara, Apa Rakyat Ikut Menanggung?
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz,
- Dalam pandangan fikih, utang yang dilakukan Pemerintah (terlepas dari apapun motifnya) apakah menjadi hutang kolektif warga negara? Ataukah menjadi tanggungan para pemangku kekuasaan yang menjabat saat itu?
- Ketika hutang Negara semakin banyak namun tidak ada satupun ulama yang vokal mengingatkan Pemerintah, apakah secara hukum Islam, ulama bisa dianggap ikut ‘melancarkan’ keburukan karena tidak ada sekalipun tindakan zhahir yang bisa umat saksikan untuk mengingatkan jajaran pemerintahan?
Jazakumullah khairan katsiiro.
(Santri Mahad BIAS)
Jawab:
Wa’alaykumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh
Hukum Utang dalam Islam
Sebagai pendahuluan, kita sebutkan dahulu hukum berutang. Di dalam kitab al-kassyaful qina’ dijelaskan:
وَالْقَرْضُ (مُبَاحٌ لِلْمُقْتَرِضِ) وَلَيْسَ مَكْرُوْهًا؛ لِفِعْلِ النَّبِيِّ ﷺ، وَلَوْ كَانَ مَكْرُوْهًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ.
“Dan berutang, hukum asalanya adalah mubah, bukan hal yang makruh; karena Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam pernah berutang, seandainya berutang hukumnya makruh, tentu Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut.”[1]
Dari sini kita mengetahui bahwa hukum asal berutang -jika memang diperlukan- adalah mubah alias boleh. Namun, hendaknya seorang muslim tidak berutang kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja, bukan untuk memenuhi gaya hidupnya.
Jika Memutuskan untuk Berutang…
Dan jika seseorang telah memutuskan untuk berutang, maka hendaknya dia berniat untuk segera dalam melunasinya, dengan demikian pertolongan Allah azza wajalla akan datang kepada orang tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis di bawah ini:
عَنْ أَبِيْ هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:1.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang mengambil harta manusia (berutang) dengan niat ingin mengembalikannya, maka Allah akan membantunya untuk melunasi. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan niat untuk menghabiskannya (tidak mengembalikannya), maka Allah akan hancurkan harta tersebut.’” (HR. Bukhari, no. 2387. Hadis ini Shahih)
Disamping itu, dalam banyak hadis, Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam menjelaskan akan pentingnya melunasi utang, di antaranya adalah hadis Riwayat Imam Bukhari:
عَنْ سَلَمَةَ بن الأَكْوَع رضي الله عنه قال:2
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ’anhu: “Dulu kami pernah duduk Bersama Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam, kemudian didatangkan sebuah jenazah. Kemudian para sahabat berkata: ‘Wahai Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam, shalatlah atas jenazah ini.’ Maka Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan warisan?’ ‘Tidak,’ kata para sahabat. Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bertanya lagi, ‘Apakah dia punya utang?’ ‘Tiga dirham wahai Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam,’ kata para sahabat. Maka Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam berkata, ‘Shalatlah kalian atas saudara kalian.’ Berkata Abu Qatadah radhiyallahu ’anhu kepada Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam, ‘Sholatlah atas jenazah tersebut wahai Rasulullah dan aku yang akan melunasi utang tersebut.’ Maka Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam pun menshalati jenazah tersebut.” (HR. Bukhari, no. 2289. Hadis ini Shahih)
Dari kisah ini, Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam ingin mengajarkan kepada umatnya akan pentingnya membayar utang dan bersegera dalam membayarnya.
Jika Utang Negara, Siapa yang Harus Melunasi?
Hukum tentang utang di atas mencakup utang manusia secara pribadi, utang untuk sebuah yayasan, dan bahkan utang untuk sebuah negara.
Namun, jika negara berutang, siapa yang bertanggung jawab untuk melunasinya?
Beragam jawaban dari masyarakat tentang masalah ini, ada yang menjawab bahwa utang tersebut dibebankan kepada seluruh masyarakat secara merata. Ada juga yang menjawab dibebankan kepada pemangku kekuasaan pada saat utang tersebut dilaksanakan.
Namun, bagaimana syari’at islam memandang masalah ini? Kita bahas satu persatu.
Pertama, tidak mungkin masyarakat menanggung utang negara; karena dalam hal ini masyarakat tidak tahu menahu tentang utang tersebut, sedang utang piutang merupakan akad syar’i yang harus jelas diketahui dan disetujui antara kedua belah pihak.
Kedua, tidak pula pemangku kekuasaan yang menanggung utang tersebut; karena mereka melakukan akad utang piutang tersebut bukan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Dan kedudukan mereka ketika menjabat kekuasaan adalah sama seperti kedudukan wali bagi anak yatim yang bertasharruf terhadap kemaslahatan anak yatim tersebut. Jadi, mereka tidak menanggung apa yang mereka lakukan terhadap sebuah perbuatan yang mereka yakini sebagai sebuah maslahat.
Maka, tidak lain tidak bukan yang menanggung utang negara adalah negara itu sendiri, adapun pemangku kekuasaan, tugas mereka adalah memikirkan solusi dan mencari jalan keluar supaya utang tersebut dapat terlunasi, terlebih melunasi menggunakan cara-cara yang syar’i sehingga keberkahan akan Allah turunkan kepada negara tersebut.
Stafsus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan, “Faktanya, yang bayar utang itu ya negara. Dari mana? Dari aktivitas ekonomi yang terus bertambah.” terangnya dalam webinar KSP Mendengar, seperti diwartakan detik.com. [2]
Lalu Apa Peran Ulama dalam Hal ini?
Sebagian masyarakat mungkin bertanya-tanya, “Lalu mana peran para ulama tentang hal ini, kenapa mereka tidak vokal menyerukan hal ini sebagai bentuk pengingkaran terhadap utang negara yang semakin bertambah?”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bisa kita katakan bahwa tidak semua perbuatan para ulama harus mereka publis dan mereka tampakkan kepada masyarakat. Atau, bisa jadi mereka telah berdiskusi dengan pemangku kekuasaan secara langsung dan mereka berpendapat bahwa kebijakan berutang tersebut telah tepat.
Namun, tentu yang berkewajiban melakukan negosiasi dan diskusi dengan pemangku kekuasaan adalah para ulama yang memang memiliki kapabilitas tentang hal tersebut dan memang ditunjuk oleh pemerintah itu sendiri.
Wallahu a’lam bishawab
Referensi:
[1] Albuhuti. (2000 M). Kasyaful qina. Saudi Arabia: Wizarotul ‘Adl.
[2] 30 Juni 2021. Satu Warga RI Menanggung Rp23 Juta Utang Pemerintah. Diambil pada 23 September 2024, dari
- مَن أخَذَ أمْوالَ النَّاسِ يُرِيدُ أداءَها أدَّى اللَّهُ عنْه، ومَن أخَذَ يُرِيدُ إتْلافَها أتْلَفَهُ اللَّهُ [↩]
- كنا جلوسًا عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ أتي بجنازة، فقالوا: يا رسول الله، صَلِّ عَلَيْهَا، قالَ: هلْ تَرَكَ شيئًا؟ قالوا: لَا، قالَ: فَهلْ عليه دَيْنٌ؟ قالوا: ثَلَاثَةُ دَنَانِيرَ، قالَ: صَلُّوا علَى صَاحِبِكُمْ، قالَ أَبُو قَتَادَةَ صَلِّ عليه يا رَسولَ اللَّهِ وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عليه. [↩]
Leave a Reply