Bolehkah Memberikan Panggung kepada Orang Kafir di Hadapan Kaum Muslimin?
Bolehkah Memberikan Panggung kepada Orang Kafir di Hadapan Kaum Muslimin?
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد:
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki sifat hidup bersama dan berkumpul dalam satu tempat, saling berdampingan, saling menghormati, dan saling menunaikan hak antar sesama. Itulah idealnya prinsip hidup berdampingan. Islam juga datang mengajarkan hal tersebut, banyak wasiat-wasiat Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam berisi untuk berbuat baik dengan orang-orang terdekat, seperti keluarga, tetangga, dan orang sekitar.
Namun, demi sebuah kebaikan, ada hal-hal yang islam batasi dalam bermuamalah dengan sesama manusia. Melihat perkembangan zaman, dimana manusia hidup berdampingan dengan perbedaan yang tak terelakkan, seperti perbedaan kewarganegaraan, warna kulit, ras, bahkan perbedaan agama.
Khusus berkaitan dengan perbedaan agama, islam mengatur secara ketat, karena dalam hal ini ada dua hak yang harus ditaati oleh setiap muslim, hak terhadap Allah ‘azza wajalla dan hak antar sesama manusia. Dalam banyak hal, kedua hak di atas dapat bertemu, namun dalam beberapa keadaan seseorang harus memilih hak mana yang harus dia kedepankan.
Dan tentu sebagai seorang muslim, sudah seharusnya dia memilih dan mengutamakan hak Allah ‘azza wajalla.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam semasa hidupnya, selain bermuamalah dengan kaum muslimin, beliau juga bermuamalah dengan orang kafir. Hal ini dibuktikan dimana ketika beliau meninggal, baju besi beliau tergadai di tangan salah seorang yahudi. [1] Juga ketika salah seorang yahudi sedang sakit, beliau menjenguknya, yang mana itu menjadi sebab orang yahudi tersebut memeluk agama islam. [2]
Begitu pula praktik muamalah para sahabat. Dalam sebuah kisah, diceritakan dimana sahabat Ali radhiyallahu ’anhu kehilangan baju perang, kemudian beliau menjumpai baju perangnya berada pada salah seorang yahudi, kemudian mereka saling mengakui baju perang tersebut hingga permasalahannya sampai di tangan hakim, yang pada akhirnya orang yahudi memenangkan sengketa tersebut, namun pada akhirnya orang yahudi malah masuk Islam karena sebab kejujuran sahabat Ali radhiyallahu ’anhu yang pada saat itu menjabat sebagai khalifah kaum muslimin. [3]
Dari beberapa penggal kisah di atas, dapat kita pahami bahwa bermuamalah dengan orang kafir hukumnya boleh, namun hal tersebut tidak berkaitan dengan agama, apabila berkaitan dengan agama apalagi sampai memberi panggung kepada mereka dan memberi kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan agama mereka, maka ini tidak boleh.
Dikisahkan bahwa sahabat Umar radhiyallahu ’anhu pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membawa tulisan yang beliau dapatkan dari Ahli kitab. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam marah dan beliau bersabda:
“يا ابنَ الخَطَّابِ، أمُتَهَوِّكون أَنْتُم كَمَا تَهَوَّكَتِ اليَهُوْدُ والنَّصَارَى؟ أَمَا وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَقَدْ جِئتُكُم بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَقًّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ، وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوْسَى – صلى الله عليه وسلم – كَانَ حَيًّا مَا وَسعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعنِي)).
Artinya: “Wahai ibnul khattab! Apakah engkau ragu sama seperti kaum Yahudi dan Nasrani ragu?! Sungguh demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian membawa sesuatu yang putih dan murni. Jangan kalian bertanya suatu hal kepada ahli kitab kemudian mereka menjawab dengan sebuah kebenaran kemudian kalian dustakan, atau mereka menjawab dengan sebuah kebathilan kemudian kalian benarkan. Demi Allah, seandainya Musa masih hidup niscaya beliau akan mengikuti aku.” [4]
Dari kisah ini, kita belajar bahwa manusia terpilih seperti para sahabat, bahkan termasuk paling afdhalnya sahabat, yaitu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarangnya untuk membaca dan membawa catatan dari ahli kitab, apalagi manusia biasa seperti kita.
Kesimpulan
Maka, dari sini bisa kita simpulkan bahwa memberikan panggung kepada orang kafir dan memperdengarkan kitab mereka di hadapan kaum muslimin hukumnya adalah dilarang, bahkan seharunya lebih keras larangannya dibanding larangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kepada Umar radhiyallahu ’anhu; karena dalam kasus ini kesesatan benar-benar ditampilkan dan disuguhkan di hadapan kaum muslimin yang awam, sehingga akan banyak dari mereka yang terpengaruh dengan kesesatan tersebut.
Kalau dalam kisah Umar radhiyallahu ’anhu saja Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menegurnya dengan keras, bagaimana jika beliau menyaksikan kejadian ini?!
Semoga Allah menjaga kaum muslimin dari segala jenis kesesatan.
Referensi:
[1] HR. Bukhori, no. 2916. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha. Hadits ini Shahih.
[2] HR. Bukhori, no. 1356. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu. Hadits ini Shahih.
[3] Abu Nu’aim Al-Asbahani. (1974 M/1394 H). Hilyatul Auliya’. Mesir: Matba’atussa’adah.
[4] Ibnu Katsir. (1988 H/1408 M). Albidayah Wannihayah. Dar Ihyautturats Alarabi.
Leave a Reply