Hukum Tato dan Menyambung Rambut

Hukum Tato dan Menyambung Rambut

Teks Hadis

Dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya; wanita yang bertato dan yang meminta ditatokan.” (HR. Bukhari no. 5940 dan Muslim no. 2124)

Penjelasan Teks Hadis

Yang dimaksud dengan “laknat” adalah,

الطرد والإبعاد عن رحمة الله تعالى

“mengusir dan menjauhkan dari rahmat Allah Ta’ala.”

Sedangkan laknat dari makhluk adalah berupa celaan dan doa (jelek). Hadis ini dari sisi lafal adalah kalimat berita, namun dari segi makna adalah kalimat perintah (yaitu, perintah untuk menjauhi perbuatan yang disebutkan).

“Al-Wāṣhilah” (الواصلة) adalah wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, baik dia melakukannya untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.

Abu Dawud rahimahullah berkata,

وتفسير الواصلة: التي تصل الشعر بشعر النساء

“Maksud al-waṣhilah adalah wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut wanita lain.” [1]

Al-Harawi rahimahullah berkata,

وأما الواصلة والمستوصلة فإنه في الشَّعَر، وذلك بأن تصله بشعر آخر

“Adapun al-waṣhilah dan al-mustawṣhilah, ini berkaitan dengan rambut, yaitu menyambung rambut dengan rambut lain.”

Ibnu Manẓhur rahimahullah berkata,

الواصلة من النساء التي تصل شعرها بشعر غيرها، والمستوصلة: الطالبة لذلك

Al-waṣhilah adalah wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, sedangkan al-mustawshilah adalah wanita yang meminta untuk disambung rambutnya.” [2]

“Al-wasyimah” (الواشمة) adalah wanita yang melakukan tato, yaitu menusukkan jarum atau yang sejenisnya pada tubuh orang yang ingin ditato sampai darah mengalir, kemudian mengisi bekas tusukan itu dengan celak, nila, kapur, atau bahan lainnya sehingga bagian tubuh yang ditato menjadi hijau atau kebiruan. Tato ini biasanya dilakukan pada wajah dan tangan. Orang yang ditato sering berkreasi dengan tato, ada yang menggambar bentuk hati di tangannya, menulis nama orang yang dicintainya, dan sejenisnya.

“Al-mustawsyimah” (المستوشمة) adalah wanita yang meminta agar tato dibuat di tubuhnya.

Kandungan Hadis

Kandungan pertama: Hukum menyambung rambut

Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan larangan menyambung rambut, tidak diperbolehkan bagi seorang wanita untuk menyambung rambutnya dengan rambut lain dengan tujuan berhias. Hal ini karena laknat terhadap orang yang menyambung rambut (الواصلة) dan yang meminta disambungkan rambutnya (المستوصلة) adalah bukti (dalil) atas haramnya tindakan tersebut, dan bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar. Selain itu, perbuatan itu juga menyerupai orang Yahudi, serta mengandung unsur penipuan dan kecurangan. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya sebagai suatu kebohongan (الزور).

Telah diriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah,

قدم معاوية المدينة آخر قدمة قدمها، فأخرج كَبَّةً من شعر، قال: ما كنت أرى أحدًا يفعل هذا غير نساء اليهود، إن النبي – صلى الله عليه وسلم – سماه الزور، يعني: الواصلة بالشعر

“Muawiyah datang ke Madinah pada kedatangan terakhirnya, lalu dia mengeluarkan seikat (seuntai) rambut dan berkata, “Aku tidak menyangka ada orang yang melakukan ini selain wanita-wanita Yahudi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya sebagai suatu kebohongan.” Yaitu, wanita yang menyambung rambut dengan rambut.” (HR. Bukhari no. 5938 dan Muslim no. 2127)

Adapun terkait hukum menyambung rambut dengan sesuatu selain rambut, seperti sutra, wol, benang berwarna, dan sejenisnya yang tidak menyerupai rambut, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama melarangnya, dan pendapat ini dinisbatkan kepada mayoritas (jumhur) ulama. Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah [3].

Mereka berdalil dengan hadis dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang wanita menyambung sesuatu di kepalanya.” (HR. Muslim no. 2126)

Para ulama tersebut berkata bahwa hadis ini merupakan larangan umum tentang menyambung (rambut), yaitu menyambung rambut dengan bahan apapun itu hukumnya terlarang. Oleh karena itu, jika larangan ini dikhususkan hanya pada “menyambung rambut dengan rambut lain”, maka memerlukan dalil tersendiri.

Sebagian ulama lain, seperti Al-Laits bin Sa’ad, sebagian ulama Hanafiyah, dan Ibnu Qudamah rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan menyambung rambut dengan wol, kain, atau bahan lain yang tidak menyerupai rambut asli [4]. Hal ini karena jenis penyambungan tersebut tidak termasuk dalam istilah “al-washl” (الوصل) (menyambung rambut yang terlarang dalam hadis), tidak mengandung unsur penipuan, dan tidak mengubah ciptaan Allah Ta’ala. Sebaliknya, hal ini bertujuan untuk memperindah dan mempercantik. Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا بَأْسَ بِالْقَرَامِلِ

“Tidak ada masalah dengan “qaramil”.” [5]

Setelah menyebutkan riwayat ini, Abu Dawud rahimahullah berkata,

كَانَ أَحْمَدُ يَقُولُ: الْقَرَامِلُ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ

“Imam Ahmad rahimahullah berkata, ‘(Menyambung rambut dengan) qaramil itu tidak mengapa (diperbolehkan).’”

Kata “qaramil” (قَرامل) adalah bentuk jamak dari “qarmal” (قَرمل). Qaramil merujuk pada sejenis tumbuhan yang memiliki cabang-cabang yang panjang dan lentur. Namun, dalam konteks ini, yang dimaksud adalah benang dari sutra atau wol yang diikat menjadi kepang-kepang yang digunakan oleh wanita untuk menyambung rambutnya. [6]

Al-Khattabi rahimahullah berkata,

رخص أهل العلم في القرامل؛ لأن الغرور لا يقع بها؛ لأن من نظر إليها لم يشك في أن ذلك مستعار

“Ulama memberi keringanan dalam penggunaan ‘qaramil’ karena tidak mengandung unsur penipuan. Siapa pun yang melihatnya tidak akan ragu bahwa itu adalah rambut palsu.” [7]

Pendapat kedua inilah lebih kuat, insya Allah. Larangan hanya berlaku pada menyambung rambut dengan rambut lain. Sedangkan menyambung rambut dengan benang berwarna atau bahan lain yang umum digunakan oleh wanita, terutama anak perempuan yang masih kecil, agar rambut tidak menyebar atau terurai, perbuatan itu tidak masalah. Hal ini karena tindakan tersebut tidak dianggap sebagai “al-washl” (الوصل) dan orang yang melihatnya pasti tahu bahwa itu bukan rambut asli.

Adapun hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu dapat dipahami sebagai larangan menyambung rambut dengan rambut lain. Hal ini karena ketika istilah “al-washl” (الوصل) digunakan secara mutlak (tanpa ada keterangan tambahan), itu merujuk pada menyambung rambut dengan rambut, sebagaimana ditunjukkan oleh penggunaan istilah ini dalam bahasa dan syariat, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Kandungan kedua: Hukum tato

Hadis ini juga merupakan dalil yang menunjukkan larangan melakukan tato (الوشم), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang membuat tato (الواشمة) dan orang yang meminta untuk dibuatkan tato (المستوشمة). Laknat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menandakan bahwa hal tersebut termasuk perbuatan yang diharamkan, bahkan termasuk dosa besar (al-kabaa’ir).

Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ

“Allah melaknat orang-orang yang membuat tato dan orang yang minta dibuatkan tato, orang-orang yang mencabut bulu mata, orang-orang yang minta dicabut bulu matanya, dan orang-orang yang merenggangkan gigi demi kecantikan yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Bukhari no. 4885 dan Muslim no. 2125)

Dalil ini menunjukkan bahwa alasan utama di balik larangan tato adalah karena tindakan tersebut dinilai mengubah ciptaan Allah Ta’ala. Ini adalah sifat yang melekat pada siapa pun yang menato tubuhnya. Selain alasan itu, tato dibuat dengan menusukkan jarum ke kulit, yang menyebabkan rasa sakit dan juga menyiksa tubuh tanpa ada alasan yang mendesak atau kebutuhan yang dibenarkan.

Tato yang diharamkan adalah yang dilakukan seseorang atas dasar pilihan atau keinginannya sendiri. Akan tetapi, jika tato tersebut timbul sebagai akibat dari pengobatan atau kecelakaan (seperti jika sesuatu menggores tubuh dan meninggalkan noda atau bercak hitam di kulit), maka hal ini tidak termasuk dalam larangan.

Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

الواشمة إلا من داء

“Wanita yang membuat tato, kecuali karena penyakit.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4170. Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya hasan.” Lihat Fathul Baari, 10: 376)

Dalam atsar dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan,

والمستوشمة من غير داء

“Wanita yang meminta dibuatkan tato tanpa alasan medis.” (Fathul Baari, 10: 372; Syarh Shahih Muslim, 14: 353)

Jika memungkinkan, tato harus dihilangkan melalui pengobatan. Namun, jika proses penghapusan tato tersebut berisiko menimbulkan kerusakan (kulit) yang lebih parah, hilangnya anggota tubuh, atau menyebabkan cedera (cacat) yang besar pada bagian tubuh yang terlihat, maka tidak wajib menghilangkannya. Tobat saja sudah cukup dalam kasus semacam ini tanpa menghilangkan tatonya. Namun, jika tidak ada risiko seperti itu, maka wajib untuk menghapus tato, dan seseorang berdosa jika menundanya. [8]

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk diri penulis sendiri dan juga para pembaca sekalian. [9]

Baca juga: Hukum-Hukum terkait Tato

***

@Fall, 8 Rabiul akhir 1446/ 11 Oktober 2024

Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Al-Lisaan, 11: 227.

[2] As-Sunan, 4: 78.

[3] Al-Adaab Asy-Syar’iyyah, 3: 339.

[4] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 5: 339; Al-Mughni, 1: 94; Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 14: 651.

[5] HR. Abu Dawud no. 4171. Riwayat ini dinilai sahih oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (10: 388), meskipun dalam sanadnya terdapat perawi bernama Syarik bin Abdullah Al-Qadhi. Namun, hal ini bisa jadi terkait dengan periwayatannya sebelum dia menjadi hakim (qadhi), atau karena ini merupakan atsar dari seorang tabi’in, maka ada kelonggaran dalam penilaian derajat kesahihannya.

[6] ‘Aunul Ma’bud, 11: 228.

[7] Ma’alim As-Sunan, 6: 89.

[8] Fathul Baari, 10: 372; Syarh Shahih Muslim, 14: 353.

[9] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 354-357). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *