Syarat-syarat i’rab (perubahan) al-asma’ as-sittah dilakukan dengan huruf, kecuali jika memenuhi empat syarat berikut:
Pertama, al-asma’ as-sittah harus dalam bentuk tunggal. Sebagaimana contoh yang telah disebutkan, jika berbentuk mutsanna (kata ganda), maka i’rab-nya mengikuti i’rab isim mutsanna, yaitu rafa’ dengan tanda alif, nashab, dan jer dengan tanda ya. Contohnya terdapat dalam firman Allah,
وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ
“Dia (Yusuf) mengangkat kedua orang tuanya ke atas singgasana.” (QS. Yusuf: 100)
Dalam contoh ini, kata أَبَوَيْهِ berkedudukan sebagai maf’ul bih mansub dan tanda nashab berupa tanda ya karena kata tersebut merupakan isim mutsanna. Kata tersebut juga berkedudukan sebagai mudhaf. Sementara dhamir الهَاءُ tersebut berkedudukan sebagai mudhaf ilaih.
Apabila al-asma’ as-sittah berbentuk jamak taksir, maka i’rab-nya dilakukan dengan harakat, yaitu rafa’ dengan damah, nashab dengan fathah, dan jer dengan kasrah. Contohnya terdapat dalam firman Allah,
اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًاۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ َ
“Bapak-bapak kalian dan anak-anak kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang paling memberikan manfaat bagi kalian. Ini merupakan kewajiban dari Allah untuk kalian tunaikan” (QS. An-Nisa’: 55)
Maka, kata اٰبَاء berkedudukan sebagai mubtada marfu’ karena ibtida’. Tanda marfu’-nya ditandai tanda damah zhahirah, dan kata tersebut juga berkedudukan sebagai mudhaf. Adapun huruf الكاف yang terletak setelah kata اٰبَاء tersebut berkedudukan sebagai mudhaf ilaih. Huruf الميم yang terletak setelah huruf الكاف tersebut sebagai tanda jama’. Sementara itu, kata لَا تَدْرُوْنَ jumlah fi’liyah yang terdiri dari fi’il dan fa’il berkedudukan sebagai khabar.
Kedua, al-asma’ as-sittah harus dalam bentuk mukabbarah atau tidak dalam bentuk tashghir. Sebagaimana disebutkan dalam contoh sebelumnya, jika dalam bentuk tashghir, maka i’rab-nya menggunakan harakat. Contohnya dalam kalimat adalah,
جَاءَ أُخَيُّ زَيْدٍ
“Adik laki-laki Zaid telah datang.”
Dalam kata tersebut, kata أُخَيُّ adalah fa’il marfu’ dengan tanda damah zhahirah, dan juga berkedudukan sebagai mudhaf. Adapun kata زَيْد berkedudukan sebagai mudhaf ilaih.
Ketiga, al-asma’ as-sittah harus sebagai mudhaf. Sebagaimana contoh yang telah disebutkan, apabila tidak berkedudukan sebagai mudhaf, maka di-i’rab dengan menggunakan harakat. Contohnya dalam Al-Qur’an yang menceritakan kisah saudara-saudara Nabi Yusuf, yaitu:
اِنَّ لَهٗٓ اَبًا شَيْخًا كَبِيْرًا
“Sesungguhnya dia mempunyai seorang bapak yang sangat tua.” (QS. Yusuf: 78)
Kata اَبًا berkedudukan sebagai isim inna muakkhar (yang dibelakangkan) manshub dengan tanda fathah zhahirah. Adapun kata لَهٗٓ berkedudukan sebagai khabar inna muqaddam (yang didahulukan). Contoh lainya adalah:
هَذَا أَبٌ عَطُوْفٌ
“Ini adalah seorang bapak yang penyayang.”
وَسَلَمْتُ عَلَى أَبٍ عَطُوْفٍ
“Saya memberikan salam ke seorang bapak yang penyayang.”
Keempat, al-asma’ as-sittah haruslah berupa susunan idhafah, kecuali jika di-idhafah-kan ke ya mutakallim. Sebagaimana contoh yang telah disebutkan sebelumnya, apabila di-idhafah-kan kepada ya mutakallim, maka i’rab-nya dengan harakat muqaddarah (abstrak). Contohnya dalam firman Allah dalam menceritakan kisah Nabi Musa ‘alahis salam:
وَاَخِيْ هٰرُوْنُ هُوَ اَفْصَحُ مِنِّيْ لِسَانًا
“Saudara laki-lakiku, Harun, dia lebih fasih lisannya dari padaku.” (QS. Al-Qashas: 34)
Kata اَخِيْ berkedudukan sebagai mubtada marfu’ dengan tanda damah muqaddarah (abstrak) sebelum huruf ya mutakallim, yaitu huruf kha. Tanda damah yang seharusnya muncul pada huruf sebelum ya mutakallim karena tempat tersebut “sibuk” dengan harakat kasrah yang lebih sesuai. Oleh karena itu, harakat damah yang seharusnya ada, dihilangkan (abstrak) dan diganti dengan harakat kasrah. Kata اَخِيْ berkedudukan sebagai mudhaf sedangkan ya mutakallim berkedudukan sebagai mudhaf ilaih. Khabar dari potongan ayat tersebut adalah هُوَ اَفْصَحُ مِنِّي. Adapun kata هٰرُوْنُ berkedudukan sebagai athaf bayan marfu’ dengan tanda damah.
Dari penjelasan ini, dapat dipahami empat syarat yang disimpulkan secara implisit dari perkataan Ibnu Hisyam, yaitu tidak dinyatakan secara langsung, tetapi bisa dipahami dari konteks. Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa al-asma’ as-sittah harus memenuhi syarat-syarat berikut:
Pertama, mufrad, yaitu tunggal.
Kedua, mukabbarah, yaitu dalam bentuk besar.
Ketiga, berkedudukan sebagai mudhaf.
Keempat, di-idhafah-kan kepada selain ya mutakallim.
[Bersambung]
***
Penulis: Rafi Nugraha
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply