Teks Hadis
Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ عَمْرَةَ بِنْتَ الْجَوْنِ تَعَوّذَتْ مِنْ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أُدْخِلَتْ عَلَيهِ -تَعْني: لَمَّا تَزَوّجَهَا- فَقَال: “لَقَدْ عُذْتِ بِمَعَاذٍ” فَطَلَّقَهَا، وَأَمَرَ أُسَامَةَ فَمَتَّعَهَا بِثَلَاثةِ أَثْوَابٍ.
“Amrah binti Al-Jawn pernah meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sekamar dengan beliau, yakni ketika dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat yang menjadi sumber perlindungan (Allah).” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikannya dan memerintahkan Usamah untuk memberinya mut’ah berupa tiga helai pakaian. (HR. Ibnu Majah no. 2037, hadis ini batil karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama ‘Ubaid bin Al-Qasim)
Dasar hadis ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari (no. 5255), yang diriwayatkan dari Hamzah bin Abi Usaid, dari ayahnya, Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sampai pada suatu dinding yang dinamakan ‘Asy Syauth’. Kami terus berjalan hingga sampai pada dua dinding dan duduk di antara keduanya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Duduklah kalian di sini.”
Beliau pun masuk dan ternyata telah didatangkan seorang perempuan bani Jaun dan ditempatkan di rumah yang ada di kebun kurma, yaitu rumahnya Ummayyah binti An-Nu’man bin Syarahil yang saat itu sedang bersama pelayan dan perawatnya. Dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemuinya, beliau bersabda,
هَبِي نَفْسَكِ لِي
“Serahkanlah dirimu untukku.”
Wanita itu berkata, “Apakah seorang ratu (permaisuri) akan menyerahkan dirinya kepada seorang rakyat jelata?” Maka beliau pun menjulurkan tangannya dan hendak menyentuh dan menenangkan, akan tetapi wanita itu berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.”
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عُذْتِ بِمَعَاذٍ
“Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Melindungi.” Setelah itu, beliau keluar dan berkata,
يَا أَبَا أُسَيْدٍ اكْسُهَا رَازِقِيَّتَيْنِ وَأَلْحِقْهَا بِأَهْلِهَا
“Wahai Usaid, berilah ia dua helai pakaian dari katun dan kembalikanlah ia kepada keluarganya.”
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghormati permintaan wanita tersebut dan memerintahkannya untuk diberi pakaian sebagai bentuk mut’ah, kemudian mengembalikannya kepada keluarganya dengan baik.
Kandungan Hadis
Kandungan pertama: Disyariatkannya memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai
Hadis tersebut menunjukkan disyariatkannya memberikan hadiah (mut’ah) yang layak kepada istri yang telah diceraikan, sesuai dengan kemampuan suami dan adat yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk menghibur hati istri yang terkena musibah perceraian, meredakan kesedihannya, serta sebagai bentuk penghormatan dan kebaikan kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241)
Juga firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28)
Tidak ada batasan jumlah tertentu dari syariat untuk mut’ah ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 236,
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi menurut kemampuannya, dan orang yang kekurangan memberi menurut kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 236)
Jika suami dan istri sepakat atas jumlah tertentu, maka tidak ada masalah. Namun, jika terjadi perbedaan, hakim akan memutuskan berdasarkan petunjuk ayat ini.
Kandungan kedua: Hukum memberikan mut’ah untuk wanita yang dicerai
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum pemberian mut’ah kepada istri yang diceraikan menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama
Wajib memberikan mut’ah kepada setiap istri yang diceraikan, baik diceraikan sebelum terjadi hubungan intim atau setelahnya, baik telah ditentukan (ditetapkan) maharnya atau belum. Pendapat ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad, pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Sa’id bin Jubair. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Al-Hafiz Ibnu Hajar, dan Asy-Syinqithi. [1]
Dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah Ta’ala,
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapatkan mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241)
Lafal “para perempuan yang diceraikan” (المطلقات) bersifat umum, menunjukkan bahwa hal ini berlaku umum untuk semua istri yang diceraikan. Kata “حَقًّا” (berhak), menekankan kewajiban tersebut, dan dikuatkan lagi dengan pernyataan “عَلَى الْمُتَّقِينَ” (sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa).
Dalam ayat lain disebutkan,
حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Hendaklah pemberian itu diberikan dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)
Selain itu, Allah memerintahkan Nabi untuk berkata kepada istri-istrinya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالينَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memberikan kepada kalian mut’ah dan melepas kalian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 28)
Ayat ini menunjukkan bahwa mut’ah juga diberikan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah jelas memiliki mahar dan telah terjadi hubungan suami istri. Berdasarkan kaidah ushul, setiap perintah khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berlaku umum bagi umatnya, kecuali ada dalil yang secara khusus mengecualikan (bahwa hal itu hanya khusus berlaku untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja, dan tidak untuk umatnya).
Pendapat kedua
Mut’ah dianjurkan (sunah) untuk diberikan kepada setiap istri yang diceraikan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama salaf. [2]
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Dan juga firman Allah Ta’ala,
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Mereka berpendapat bahwa jika hukum mut’ah itu wajib, maka hal ini tidak akan dibatasi hanya kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin) dan orang-orang yang bertakwa (muttaqin), tetapi menjadi kewajiban bagi semua orang. Selain itu, jika mut’ah itu wajib, maka akan ada batasan tertentu mengenai jumlah yang harus diberikan.
Namun, pandangan bahwa mut’ah hanya dianjurkan dibantah dengan argumen bahwa meskipun mut’ah tidak memiliki jumlah yang pasti (tidak ditentukan jumlahnya secara khusus oleh syariat), ini tidak menafikan kewajibannya. Sama halnya dengan nafkah bagi istri dan kerabat yang juga wajib, meskipun jumlahnya tidak ditentukan secara spesifik oleh syariat. [3]
Pendapat ketiga
Mut’ah wajib diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum terjadinya hubungan intim dan belum ditetapkan maharnya. Namun, jika istri diceraikan setelah terjadi hubungan intim, maka tidak ada kewajiban memberikan mut’ah baginya. Jika istri tersebut termasuk golongan mufawwidhah (istri yang belum ditetapkan maharnya) [4], maka dia berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang setara dengan perempuan lain yang sepadan dengannya). Adapun jika mahar telah ditetapkan sebelumnya, maka dia berhak mendapatkan setengah dari mahar tersebut.
Pendapat ini dipegang oleh sekelompok sahabat dan tabi’in, termasuk Ibnu Abbas, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, serta ulama seperti Al-Hasan, Atha’, dan Asy-Sya’bi rahimahumullah. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah.
Dalil untuk pendapat ketiga ini adalah firman Allah Ta’ala,
لَا جُنَاحَ عَلَيكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi kalian jika kalian menceraikan wanita sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka atau menetapkan untuk mereka suatu mahar. Dan berilah mereka mut’ah sesuai dengan kemampuan, bagi yang kaya sesuai kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai kemampuannya, sebagai pemberian yang layak, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan agar diberikan mut’ah kepada wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan sebelum ditentukan maharnya.
Kemudian dalam ayat selanjutnya (surah Al-Baqarah ayat 237), Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh (menyetubuhi) mereka dan telah menetapkan untuk mereka suatu mahar, maka berikanlah kepada mereka setengah dari apa yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Ayat ini khusus menunjukkan bahwa bagi wanita yang diceraikan sebelum terjadi hubungan intim dan telah ditetapkan mahar, mereka hanya berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditetapkan. Para ulama berargumen bahwa jika ada kewajiban lain (yaitu memberikan mut’ah) yang harus diberikan selain memberikan setengah mahar, maka Allah Ta’ala pasti akan menjelaskannya. Lebih-lebih, ayat 237 tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya (ayat 236) yang menunjukkan bahwa mut’ah hanya khusus (wajib) diberikan kepada istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan intim dan belum ditetapkan mahar.
Mereka juga menjawab ayat {Dan para perempuan yang diceraikan berhak mendapat mut’ah dengan cara yang baik, sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa} dengan menyatakan bahwa ayat tersebut khusus untuk wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan maharnya.
Sebagian ulama menolak pandangan bahwa ada spesifikasi, dengan alasan bahwa disebutkannya mut’ah untuk perempuan yang diceraikan sebelum hubungan intim adalah bagian dari penjelasan untuk kategori tertentu dalam hukum umum, tanpa mengubah hak umum yang ada.
Pendapat yang lebih kuat
Pendapat yang lebih kuat, wallahu a’lam, adalah bahwa mut’ah wajib diberikan kepada wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim dan sebelum ditetapkan mahar, karena kuatnya dalil-dalil yang mendukung hal ini. Mut’ah dalam kasus ini berfungsi sebagai kompensasi atas mahar yang tidak dia terima dan sebagai bentuk kebaikan untuk mengurangi kesedihan akibat perceraian, sehingga tidak terjadi dua kerugian sekaligus hilangnya mahar dan hilangnya pernikahan.
Adapun wanita yang diceraikan sebelum hubungan intim tetapi sudah ditetapkan maharnya, maka mut’ah hanya dianjurkan (sunah), karena kewajiban itu telah gugur dengan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum menyentuh mereka, padahal kalian sudah menetapkan mahar untuk mereka, maka berikanlah kepada mereka setengah dari mahar yang telah kalian tetapkan.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Maka, dalil-dalil yang menunjukkan keumuman pemberian mut’ah dipahami sebagai anjuran (sunah) dalam kasus ini, agar ada keseimbangan antara dalil-dalil yang ada.
Begitu pula, mut’ah dianjurkan bagi wanita yang diceraikan setelah hubungan intim, karena mahar telah menjadi haknya dengan adanya hubungan tersebut, sedangkan mut’ah dianjurkan sebagai tambahan kebaikan atas perceraian itu.
Adapun pandangan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang mewajibkan mut’ah secara mutlak, Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan bahwa kewajiban itu dibatasi oleh lama waktu pernikahan. Jika suami menceraikan istrinya setelah setahun atau lebih, atau dalam waktu yang dekat dari itu, maka mut’ah menjadi wajib. Namun, jika perceraian terjadi segera setelah pernikahan dan mahar masih berada di genggaman istri, maka tidak ada alasan kuat untuk memberikan mut’ah. [5]
Ringkasan
Untuk memudahkan, berikut ini tedapat empat keadaan istri yang dicerai dan hukum masing-masing menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini.
Pertama: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami wajib memberikan mut’ah, namun istri tidak berhak mendapatkan mahar.
Kedua: Istri yang dicerai, belum terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan setengah mahar.
Ketiga: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan belum ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar standar).
Keempat: Istri yang dicerai, telah terjadi hubungan intim, dan sudah ditetapkan mahar. Suami dianjurkan (sunah) memberikan mut’ah, dan istri berhak mendapatkan mahar sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [5]
***
@Fall, 15 Rabiul akhir 1446/ 18 Oktober 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Tafsir Ath-Thabari, 5: 264; Al-Mughni, 10: 140; Al-Ikhtiyaraat, hal. 237; Fathul Baari, 9: 496; Adhwa’ul Bayaan, 1: 281-282.
[2] Bidayatul Mujtahid, 3: 183; Al-Mughni, 10: 139.
[3] Al-Adhwaa’, 1: 282.
[4] Lihat Al-Muthli’, hal. 327.
[5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 400-405). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Leave a Reply