Apakah Penuntut Ilmu Termasuk Fi Sabilillah? Bolehkah Menerima Zakat?
Apakah Penuntut Ilmu Termasuk Fi Sabilillah? Bolehkah Menerima Zakat?
Pertanyaan: Apakah menuntut ilmu agama termasuk dalam kategori fisabilillah sebagaimana disebut dalam ayat zakat? Apakah penuntut ilmu boleh menerima zakat berdasarkan dalil dan pendapat para ulama?
Jawaban: Bismillah. Wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du.
Di dalam Quran surat At-Taubah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan delapan golongan yang berhak menerima zakat:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah (fi sabilillah), dan untuk ibnu sabil (musafir) sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Salah satu golongan tersebut adalah fi sabilillah, yang secara makna umum dimaknai sebagai segala aktivitas yang dilakukan di jalan Allah. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami cakupan dari istilah ini.
Makna “Fi Sabilillah” Menurut Jumhur Ulama
Mayoritas ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf memaknai fi sabilillah secara khusus sebagai jihad fisik dalam membela agama Allah, baik dalam bentuk perang maupun persiapan ke arah itu. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir dalam tafsir mereka.
Namun, dalam perkembangan kajian fiqh, muncul pertanyaan: apakah menuntut ilmu agama termasuk dalam cakupan fi sabilillah yang berhak menerima zakat?
Pandangan Para Ulama Tentang Penuntut Ilmu Masuk Makna Fi Sabilillah
- Mazhab Hanafi
Dalam mazhab Hanafi, dijelaskan bahwa penuntut ilmu boleh menerima zakat jika ia tidak memiliki harta dan mencurahkan waktunya untuk menuntut ilmu agama. Bahkan sebagian ulama Hanafiyah memperbolehkan pemberian zakat kepada penuntut ilmu meskipun ia tergolong mampu secara harta, selama aktivitas belajarnya menyita waktu dan menghalangi untuk mencari nafkah.
وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ إلَى جَوَازِ أَخْذِ طَالِبِ الْعِلْمِ الزَّكَاةَ وَلَوْ كَانَ غَنِيًّا إذَا فَرَّغَ نَفْسَهُ لإِفَادَةِ الْعِلْمِ وَاسْتِفَادَتِهِ , لِعَجْزِهِ عَنْ الْكَسْبِ
“Boleh bagi penuntut ilmu menerima zakat, sekalipun ia orang kaya, jika ia menyibukkan diri dengan ilmu dan tidak sempat mencari penghasilan.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 28/337)
- Mazhab Maliki
Mazhab Maliki pada dasarnya tidak secara eksplisit memasukkan penuntut ilmu ke dalam fi sabilillah, namun pemahaman dari pendapat para ulama Maliki menunjukkan kebolehan memberikan zakat kepada mereka, apabila mereka tergolong fakir atau memenuhi kriteria lainnya dalam mustahiq zakat.
Hal ini didasarkan pada keterangan di dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى جَوَازِ إِعْطَاءِ الزَّكَاةِ لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَقَدْ صَرَّحَ بِذَلِكَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ، وَالْحَنَابِلَةُ، وَهُوَ مَا يُفْهَمُ مِنْ مَذْهَبِ الْمَالِكِيَّةِ.
“Para ulama sepakat tentang bolehnya memberikan zakat kepada penuntut ilmu. Hal ini telah ditegaskan secara eksplisit oleh mazhab Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, dan makna ini juga dapat dipahami dari pendapat mazhab Malikiyyah.”
- Mazhab Syafi’i
Imam Nawawi rahimahullah, ulama besar dalam mazhab Syafi’i, menyatakan:
وَلَوْ قَدَرَ عَلَى كَسْبٍ يَلِيقُ بِحَالِهِ إلا أَنَّهُ مُشْتَغِلٌ بِتَحْصِيلِ بَعْضِ الْعُلُومِ الشَّرْعِيَّةِ بِحَيْثُ لَوْ أَقْبَلَ عَلَى الْكَسْبِ لانْقَطَعَ مِنْ التَّحْصِيلِ حَلَّتْ لَهُ الزَّكَاةُ , لأَنَّ تَحْصِيلَ الْعِلْمِ فَرْضُ كِفَايَةٍ
“Jika seseorang mampu bekerja, namun ia menyibukkan diri dengan menuntut ilmu syar’i dan bila ia bekerja maka proses belajarnya terputus, maka boleh baginya menerima zakat. Karena menuntut ilmu adalah fardhu kifayah.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab)
- Mazhab Hambali
Syaikh Manshur bin Yunus al-Buhuti -rahimahullah- salah seorang ulama tersohor dalam Mazhab Hambali di dalam kitabnya yang masyhur; Kasyaf al Qina’ ‘anil Iqna’ menjelaskan:
وَلَعَلَّ ذَلِكَ غَيْرُ خَارِجٍ عَنْ الأَصْنَافِ , لأَنَّ ذَلِكَ مِنْ جُمْلَةِ مَا يَحْتَاجُهُ طَالِبُ الْعِلْمِ فَهُوَ كَنَفَقَتِهِ وَخَصَّ الْفُقَهَاءُ جَوَازَ إعْطَاءِ الزَّكَاةِ لِطَالِبِ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ فَقَطْ
“Kebutuhan akan buku mungkin hal tersebut tidak keluar dari kategori asnaf zakat, karena itu termasuk dalam kebutuhan yang diperlukan oleh seorang pelajar ilmu. Oleh karena itu, para ulama khususnya menyatakan bahwa zakat boleh diberikan hanya kepada pelajar ilmu agama (ilmu syar’i) saja.”
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang orang yang membutuhkan buku untuk belajar ilmu agama. Ia menjawab:
يَجُوزُ أَخْذُهُ مِنْ الزَّكَاةِ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ كُتُبِ الْعِلْمِ الَّتِي لا بُدَّ لِمَصْلَحَةِ دِينِهِ وَدُنْيَاهُ مِنْهَا
“Boleh baginya mengambil dari zakat untuk membeli buku-buku ilmu yang diperlukan demi kemaslahatan agama dan dunianya.” (Majmu’ al-Fatawa)
Kesimpulan; Menuntut Ilmu Masuk dalam Makna Fi Sabilillah
Berdasarkan pendapat para ulama dari berbagai mazhab, dapat disimpulkan bahwa menuntut ilmu syar’i termasuk bentuk jihad di jalan Allah, sehingga penuntut ilmu agama boleh menerima zakat, baik karena kefakiran nya maupun karena ia tidak mampu bekerja karena fokus belajar.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh: Ahmad Anshori, Lc., M.Pd.