Halaqah 32 | Pembahasan QS. Al-Isra 57 dan QS. Az-Zukhruf 26-28 – ilmiyyah.com

Kitab: Kitabut Tauhid
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله

Halaqah yang ke-32 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Kitābut-Tauḥīd alladzhī huwa ḥaqqullāhi ʿalal ʿabīd yang ditulis oleh Al-Imām al-Mujaddid Muḥammad ibn ʿAbdil Wahhāb ibn Sulaimān At-Tamīmī raḥimahullāh.

Masuk kita pada bab yang keenam di dalam kitab ini, yaitu

بَابُ تَفْسِيرِ التَّوْحِيدِ وَشَهَادَةِ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Beliau akan menyebutkan beberapa ayat dan juga menyebutkan hadits Nabi ﷺ yang menunjukkan kepada kita sebenarnya apa hakikat dari tauhid ini.Kita lihat ayat apa saja yang akan dibawakan oleh pengarang rahimahullāh di dalam bab ini. Beliau mengatakan

وَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: ﴿أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ﴾ الآيَةَ

Allāh ﷻ berfirman: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka mengharap rahmat-Nya serta takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Isrā’: 57)

Orang-orang yang mereka berdoa kepadanya, Allāh ﷻ bercerita tentang orang-orang shalih yang disembah oleh sebagian orang. Mereka, yaitu orang-orang shalih yang disembah selain Allāh, ternyata mereka mencari kepada Rabb mereka al-wasilah.

Apa makna wasilah? Yang dimaksud dengan wasilah di sini adalah al-qurbah, yaitu kedekatan kepada Allāh. Orang-orang shalih tersebut, apa yang menjadi pikiran mereka? Apa yang mereka senantiasa pikirkan di waktu pagi, sore, siang, dan petang? Bagaimana mereka bisa dekat dengan Allāh.

Mereka ingin mencari kedekatan dengan Allāh ﷻ. Artinya mencari kedekatan, bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allāh? Caranya adalah dengan menyerahkan ibadah kepada Allāh, baik dengan perkara yang wajib maupun perkara yang sunnah.

Dalam sebuah hadits qudsi Allāh ﷻ berfirman:

«وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ»

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan atasnya.” (HR. al-Bukhārī)

Menunjukkan bahwasanya cara untuk mendekatkan diri kepada Allāh di antaranya, dan ini adalah yang paling dicintai oleh Allāh, yaitu apa yang sudah diwajibkan: shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, haji bagi yang mampu, dan zakat yang wajib.

Kemudian Allāh ﷻ berfirman dalam hadits qudsi yang sama:

«وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّىٰ أُحِبَّهُ»

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhārī)

Menunjukkan kepada kita bahwa seseorang mendekatkan diri kepada Allāh dengan perkara-perkara yang sunnah juga. Jadi, mendekatkan diri kepada Allāh adalah dengan ibadah; dan ibadah ada yang wajib dan ada yang sunnah. Dan inilah yang dilakukan oleh orang-orang shalih tersebut.

أَيُّهُمْ أَقْرَبُ

Siapa diantara mereka yang lebih dekat.

Perlombaan mereka, orang-orang shalih, bukan dalam masalah dunia. Perlombaan mereka adalah dalam hal kedekatan kepada Allāh — siapa di antara mereka yang lebih dekat kepada Allāh.

Adapun seseorang berlomba dengan yang lain dalam masalah dunia, maka ini melalaikan. Dan seseorang tidak sadar dari perlombaan seperti ini sampai dia menjelang kematian. Allāh ﷻ berfirman:

ٱلْهَاكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ • حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ

Telah melalaikan kalian (dari ketaatan kepada Allāh) sikap saling bermegah-megahan (dalam memperbanyak harta dan keturunan), sampai kalian masuk ke dalam kubur (QS. At-Takāthur: 1-2)

Telah melalaikan kalian at-takātsur, yaitu saling memperbanyak harta, mempermegah rumah, mempermewah kendaraan — semuanya melalaikan seseorang.

Yang dituntut dari seorang muslim adalah tanafus, yaitu saling berlomba dalam kebaikan: siapa yang paling dekat dengan Allāh. Seseorang yang melihat orang lain beribadah hendaknya berkata, “Saya ingin bisa melakukan ibadah itu agar saya juga dekat dengan Allāh,” atau “Saya ingin lebih baik darinya agar lebih dekat dengan Allāh daripada yang lain.”

Ini menunjukkan keikhlasan — keikhlasan orang-orang saleh yang beribadah kepada Allāh dengan amalan wajib dan sunnah, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allāh ﷻ. Karena orang yang dekat dengan Allāh ﷻ adalah orang yang sangat beruntung. Apabila dia meminta, Allāh ﷻ akan mengabulkan; apabila dia beristighfar, Allāh akan mengampuni dosanya; apabila dia meminta perlindungan dari musibah atau kejelekan, Allāh akan melindunginya; dan dia akan dijaga oleh Allāh ﷻ.

Ini adalah keutamaan dan keuntungan orang yang dekat dengan Allāh. Ini menunjukkan bahwa mereka, orang-orang saleh, mewujudkan tawhid. Mereka menyerahkan ibadah mereka — baik yang wajib maupun yang sunnah — hanya kepada Allāh ﷻ. Maka di dalamnya terdapat penjelasan tentang makna tawhid, yaitu mengesakan Allāh dalam ibadah.

Jadi apa yang dilakukan oleh orang-orang saleh ini — yabtaghūna ilā rabbihimul-wasīlah — menunjukkan tentang penjelasan tawhid, dan bahwa tawhid adalah menyerahkan ibadah hanya kepada Allāh. Ditambah lagi kalau kita baca ayat setelahnya Allāh ﷻ berfirman:

{وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ}

“Dan mereka mengharap rahmat Allāh dan takut terhadap adzab-Nya.” (QS. Al-Isrā’: 57)

Maka di dalam kalimat ini Allāh menyebutkan tentang jenis diantara jenis-jenis ibadah yang diserahkan kepada Allāh. Kalau yabtaghūna ilā rabbihimul-wasīlah, umum, mereka menyerahkan seluruh ibadah hanya kepada Allāh saja. Dan ini adalah tafsir tawhīd. Nah, kemudian di sini, Allāh ﷻ menyebutkan tentang perincian, apa di antara ibadah yang mereka serahkan kepada Allāh.

Yaitu, pertama adalah rajā’, mengharap hanya untuk Allāh. Maka ini adalah termasuk pengertian dari syahadat lā ilāha illallāh, pengertian dari tawhīd adalah menyerahkan rajā’ hanya kepada Allāh.

وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ

Dan mereka mengharap rahmat dari Allāh.

Kita tahu bahwasanya rajā’ ini adalah ibadah. Dan dalam ayat yang lain Allāh mengatakan:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia beramal dengan amalan yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya seorang pun. (QS. al-Kahf [18]: 110)

Jadi di sini disebutkan tentang jenis ibadah yang mereka serahkan hanya kepada Allāh. Di antaranya adalah rajā’.

Kemudian yang kedua adalah rasa takut. Itu juga termasuk jenis ibadah. Sehingga mereka pun takutnya hanya kepada Allāh, bukan kepada yang lain. Jadi ayat ini menunjukkan tentang tafsir tawhīd. Menunjukkan tentang pengertian dari persaksian tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allāh, bahwasanya ibadah hanya diserahkan kepada Allāh saja. Termasuk di antaranya adalah rajā’. Termasuk di antaranya adalah khawf. Rajā’ yaitu rasa mengharap. Khawf yaitu rasa takut kepada Allāh. Maka hanya diserahkan kepada Allāh ﷻ saja.

Kemudian Beliau mengatakan:

وَقَوْلِهِ وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي

Dan ketika Ibrāhīm berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali (kepada) Dzat yang telah menciptakan aku.” (QS. az-Zukhruf [43]: 26–27)

Di dalam ayat ini Allāh ﷻ mengabarkan tentang ucapan Ibrāhīm kepada bapaknya dan juga kaumnya, mendakwahi mereka, yaitu mendakwahi mereka kepada tawhīd. Dan ini adalah dakwah para nabi dan juga para rasul.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (yang menyerukan): “Sembahlah Allāh dan jauhilah thāghūt.” (QS. an-Nahl [16]: 36)

Ibrāhīm sedang berdakwah kepada tawhīd. Ibrāhīm sedang mengajak mereka untuk bersyahadat lā ilāha illallāh.
Apa yang Beliau ucapkan? “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah.” Berlepas diri dari apa yang mereka sembah berarti Beliau sedang menafikan, sedang mengingkari. Mengingkari siapa? Mengingkari seluruh sesembahan yang disembah selain Allāh. Inilah yang Beliau ingkari. Berarti di sini ada nafyun, semakna dengan kalimat lā ilāha.

Kemudian ketika Beliau mengatakan illalladzī fataranī (kecuali Dzat yang telah menciptakan aku), berarti siapa yang menciptakan Beliau? Allāh ﷻ. Illalladzī fataranī, kecuali Dzat yang telah menciptakan aku, mengecualikan Allāh dan menetapkan Allāh sebagai satu-satunya Dzat yang disembah. Berarti ini semakna dengan illallāh, kecuali Allāh.

Jadi ayat ini menunjukkan kepada kita bahwasanya makna tawhīd adalah seseorang mengingkari seluruh sesembahan selain Allāh, siapapun dia, dan menetapkan Allāh sebagai satu-satunya yang disembah.

Jadi ibadah hanya untuk Allāh saja. Yang kecil, yang besar, yang ucapan, yang perbuatan, ataupun yang ada dalam hati seseorang, maka semuanya harus diserahkan kepada Allāh karena Dialah yang fathar, Dialah yang menciptakan.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Halaqah 32 | Pembahasan QS. Al-Isra 57 dan QS. Az-Zukhruf 26-28 – ilmiyyah.comimage_print

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Secret Link